You are beautiful because you let yourself feel, and that is a brave thing indeed.
Shinji Moon

Menghargai Jasa

author
Ken Terate
Sabtu, 9 Februari 2019 | 20:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Duri ikan lele itu nyangkut di tenggorokan saya dengan bandelnya. Ia tak mau pergi ketika saya gelontor dengan air minum, dengan nasi kepal, dengan pisang. Putus asa, saya buka-buka internet. Minyak kelapa konon ampuh menyingkirkan duri ikan. Saya coba menelan minyak itu. Nihil. Selama beberapa jam duri itu masih nyantai saja bertengger, mengganggu banget.

Menjelang malam saya panik. Esok paginya saya akan bepergian ke luar kota. Perjalanan itu enggak bakal asyik kalau si duri masih bercokol. Putus asa, saya lari ke dokter THT terdekat, yang nyaris tutup. Saya pasien terakhir dan karena mengiba-iba si dokter bersedia memeriksa saya.

Dokter itu menyuruh saya membuka mulut. Ia menjulurkan penjepit panjang dan hap, dalam sedetik si duri berhasil diambil. Wow. Saya ternganga. Lebih ternganga lagi saat si dokter menyodorkan tagihan. “Seratus lima puluh,” ujarnya ringan.

APA? Itu tarifnya untuk tindakan sedetik? Saya membayar sambil ngedumel. Makan mangut lele lima belas ribu, eh nombok ongkos dokter sepuluh kali lipatnya.

Di lain kesempatan jempol kaki anak saya (7 tahun) terkilir saat ia main trampolin di pasar malam sekaten. Ia berjalan terpincang-pincang, bahkan air matanya berurai menahan sakit saat melangkah.

Kami bawa ia terapis profesional. Sepuluh menit terapis ini memijat si buyung dan yup, jempolnya langsung pulih dan ia bisa berjalan normal. Tarifnya? Seratus ribu. Sepuluh kali lipat dibanding harga tiket trampolin.

Boleh saja kita protes, “Ih, kok mahal amat, sih. Padahal CUMA GITU AJA.”

 “Ha, kalau cuma gitu aja, kerjakan sendiri.”

Hiks, kerjakan sendiri dalam kasus duri ikan tadi bisa berarti saya menelan berkepal-kepal nasi dan alih-alih durinya ilang, pinggang saya yang melar. Kalau saya memijat sendiri jempol anak yang terkilir, boro-boro sembuh, mungkin saya justru memperparahnya.

Tak ada patokan pasti untuk bidang jasa. Anda bisa saja menemukan juru rias yang sekali rias mematok harga enam puluh atau tujuh puluh ribu, tetapi tak perlu kaget juga bila kebetulan Anda tahu tarif make-up artist top macam Bubah Alfian setara dengan satu atau dua buah smartphone paling canggih.

Tetapi berapa pun harga jasa yang dipatok, kita tidak membayar harga bahan dan peralatan (macam kita beli pisang goreng di tepi jalan), juga tidak membayar waktu yang mereka habiskan. Tidak. Kita membayar keahlian mereka yang unik, khas, susah didapat, dan seringkali bermutu tinggi.

Kalau kita membayar dokter, kita tidak membayar ongkos sewa ruangan atau obat yang ia gunakan. Kita membayar keahliannya yang ia dapatkan selama bertahun-tahun kuliah (yang tidak murah), diikuti bertahun-tahun praktik (yang tidak mudah), dan risiko besar yang ia tanggung (kadang menyangkut nyawa).

Saya sebagai penulis dan penerjemah kadang sakit hati juga kalau ada calon klien yang bilang, “Kok mahal amat, kan tinggal ditranslate pakai Google translate.”

“Ya kali, kalau tinggal di-Google translate, ngapain nyewa jasa penerjemah? Google translate aja sendiri.”

Sebagai penyedia jasa sudah menjadi tugas saya untuk mengedukasi klien bahwa keahlian saya berharga dan saya dapatkan dengan susah payah. Sebaliknya sebagai pengguna jasa, saya berusaha menjadi klien yang baik; menghargai keahlian yang mereka peroleh dengan susah payah pula.

Dalam kasus-kasus yang merupakan kebutuhan tersier (make-up misalnya), kalau saya tak mampu atau tak mau bayar mahal, ya sudah, tinggal mencari penyedia jasa yang sesuai budget dan tak perlu berharap riasan saya sekinclong Raisa. Tak perlu pula menyinyiri penyedia jasa yang pasang tarif mahal atau para klien yang mau-maunya bayar mahal. Rambut boleh sama hitam, tapi dompet kan belum tentu sama tebal.

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi