I finally realized that being grateful to my body was key to giving more love to myself.
Oprah Winfrey

Cerita Bersambung: An Instagram Wedding (7)

author
Ken Terate
Senin, 18 Februari 2019 | 18:00 WIB
kanya.id |

Episode 7 

“DAH, Mir sampai ketemu besok.”

“Dah.” Mira memaksakan senyum. Suara-suara khas kantor tutup mulai terdengar, nada Windows dimatikan, tombol AC dan saklar lampur, laptop ditutup, tas dikancing, dan suara-suara orang saling mengatakan, “See you tomorrow.”

Mira menghela napas. Aneh sekali ia bahkan masih bisa berdiri dan bekerja saat hatinya babak belur dan remuk redam.

“Take your break.” Terngiang kata-kata Rendy.

I sure will!

Pesan IG itu masuk tepat saat Mira hendak memencet tombol shut down. “Faisal NS wants to send you a message. Allow?”

Butuh beberapa waktu bagi Mira untuk akhirnya menyadari ini adalah Faisal suami Zaza. Allow.

“Hai Mir.”

“Hai.”

“Apakah Zaza menghubungi kamu dalam dua hari ini?”

“Eh, nggak. Kenapa?”

“Hanya ada sedikit masalah. Tapi nggak papa.”

Let me know ya kalau ada info.”

“Sure. Semoga semua baik.”

“Yup. Thx.”

Tidak. Pasti tidak baik. Selain saat Faisal dan Zaza pacaran, Mira tak pernah bertemu dengan Faisal. Berkomunikasi pun tidak. Tetapi kini laki-laki itu menghubunginya. Pasti ada sesuatu yang salah. Sangat salah. Mira mematikan laptopnya, menyimpannya di laci dan merapikan meja.

Suara Zaza akhirnya terdengar setelah Mira mencoba tiga kali. Saat itu Mira sampai di taman samping kantor yang memang dikhususkan bagi pejalan kaki. Taman itu berupa plaza terbuka dengan bangku-bangku dari beton dan tanaman yang terpangkas rapi.

“Hai Mir,” suara Zaza lemah, serak dan asing.

Apakah Zaza sakit? Atau kebanyakan menangis?

“Hai Za, kamu di mana?” Mira terus berjalan, tanpa benar-benar memperhatikan sekelilingnya.

“Hai, Mir, aku nggak di mana-mana kok.”

“Nggak di mana-mana itu di mana? Faisal menghubungi gue.”

“Terus?”

“Dia nanya soal elo. Memangnya ada apa?”

“Mmm… gue baik-baik saja… maksud gue, yah gue lagi bermasalah sama Faisal dan gue memutuskan buat menyepi. Gue… gue nggak kuat lagi, Mir.”

Apa? Mira buru-buru duduk di salah satu bangku terdepan. Ia harus memastikan ia tak salah dengar.

“Tapi memangnya ada apa?” Mira benar-benar penasaran sekaligus cemas. Itu agak aneh karena sebenarnya masalahnya sendiri pun cukup pelik. Betapa luasnya pikiran manusia. Luas dan aneh. Ia pikir ia sudah tak punya tempat untuk memikirkan hal lain selain kekacauan hidupnya, tetapi nyatanya ia tetap memikirkan Zaza, bahkan meski ia tak ingin.

“Yah, anggap saja Faisal sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Sebenarnya gue… dan Faisal punya nilai-nilai yang berbeda yang membuat gue kadang… umm… tertekan. Tapi yang kali ini umm… nggak bisa gue terima. Jadi gue putusin untuk menyendiri dulu, beberapa hari. Don’t worry gue baik-baik saja kok. Gue nginep di resort. Lo nggak perlu tahu di mana. Nggak ada TV, nggak ada medsos, nggak ada buku. Gue cuma berdiam diri aja. Gue udah bilang ke Faisal supaya jangan ganggu gue untuk beberapa saat ini.”

Astaga. Ini sama saja dengan pisah ranjang. Pasti masalahnya gawat sekali. Ini Zaza! Perempuan paling sabar dan bijak yang Mira kenal.

“Hah, Za. Memang masalah apa? Sampai lo pergi kayak gini? Anak-anak gimana?”

“Haha, tenang Mir. Anak-anak sama mama papa gue. Mereka juga udah tahu gue mau menyepi. Gue akan pulang beberapa saat lagi saat pikiran gue… tenang kembali.”

“Tapi ada apa, Za? Memangnya kamu diapain sama Faisal?”

Helaan napas. Lalu sunyi.

“Gue nggak bisa cerita, Mir. Sorry. Mungkin gue akan cerita, tapi nggak sekarang. Oke?”

Terdengar isakan perlahan.

Dan isakan itu seakan menular. Mira merasakan tenggorokannya tersekat.

“Gue ngerti, Za. Tapi kalau lo butuh cerita atau bantuan apa pun, gue ada di sini. Plis. Biarkan gue jadi keranjang sampah lo.”

Isakan itu semakin keras, tetapi Mira tahu Zaza berusaha menghentikannya. “Gimana persiapan pernikahan lo?”

Ampun deh, Zaza, kok sempat-sempatnya nanyain pernikahan gue! Tapi Mira menyadari, seperti dirinya, mungkin Zaza justru merasa lega sejenak untuk memikirkan orang lain setelah beberapa hari berkutat dengan kegaluannya sendiri; mengetahui ia tak sendiri. 

“Mmm… gue juga nggak bisa cerita sekarang, Za,” jawab Mira akhirnya, “Gue… entahlah… di titik ini gue udah pasrah. Pasrah dalam arti yang baik.” Mira kaget sendiri menyadari ia mengatakan yang sebenarnya. “Gue jalani aja yang harus gue jalani.”

“Lo benar. Banyak hal ada di luar kendali kita dan yang terbaik adalah… membiarkannya. Tapi, sebenarnya apa yang terjadi antara lo dan Rendy?” Zaza terdengar prihatin.

“Gue nggak yakin. Mungkin aku butuh menyepi beberapa saat seperti elo. Semua ini agak… nggg… membingungkan.”

Sunyi. Suara-suara menghilang dan Mira merasa sekelilingnya seolah-olah dalam mode mute. Karyawan-karyawan muda melintas, sebagian santai, sebagian bergegas. Apakah mereka akan pulang, pada pasangan mereka? Anak-anak mereka? Apakah mereka hidup sendiri? Apakah mereka akan mampir ke kafe lebih dahulu? Apakah mereka punya affair dengan rekan sekerja? Apakah mereka sedang bertengkar dengan pasangan mereka? Mira tak tahu, tetapi ia yakin setiap mereka punya masalah. Ada yang besar, ada yang kecil. Tetapi besar dan kecil itu opini, bukan fakta. Yeah aku mungkin akan kehilangan tunangan, tapi mereka bisa saja kehilangan suami atau anak. Sama seperti Zaza.

Mira menatap kereta api yang melintas di atas jembatan yang tampak dari tempatnya duduk. Suara bisingnya terdengar akrab. Kembali Mira mendengar keletuk-kelatuk highheels di jalan setapak beton. Teriakan seseorang memanggil temannya dan handphone berdenting-denting.

Mira melihat jam tangannya; jam 17.26. Ia masih bisa mengejar kereta jam enam bila bergegas, tetapi ia enggan bergegas. Memangnya kenapa? Akan ada kereta lain dan tak ada yang benar-benar menunggunya di rumah. Biasanya ia pulang lambat daripada ini karena makan malam dengan Rendy.

Ah, kebiasaan makan malam sepulang kerja itu juga akan hilang. Ia akan kehilangan kawan paling menyenangkan di meja makan. Rendy mau makan apa saja, mulai dari ikan bakar di bawah tenda hingga sushi di restoran bintang lima. Kembali jantung Mira teremas, apakah ini benar-benar terjadi? Ia akan melepas Rendy dan tiga tahun keindahan yang telah mereka rajut? Hanya karena masalah cupcake? Konyol, ia tahu.

Masalahnya bukan cupcake, tapi keegoisan Rendy. Benak Mira bertarung sendiri. Tapi apakah Rendy egois? Dia pernah bolos kerja demi mengantar Mira ke rumah sakit saat ia terserang tifus padahal Rendy sedang rapat penting. Ia pernah membantu melembur mengerjakan laporanku. Dan uang? Ia tak pernah mengeluhkan masalah uang selama ini. Mira merasakan tusukan di ulu hatinya. Oh, astaga mungkin Rendy memandangnya sebagai cewek konyol kolokan dan materialistis!

“Hei, lo tahu…” Zaza bicara lagi, “Gue punya feeling kalian akan berhasil melalui ini.”

“Amin.” Mira skeptis.

“Serius. Gue bisa merasakannya. Rendy care banget sama elo. Dan elo setahu gue sangat… umm… wise.”

“Nggak ah, Za. Gue lagi aja nyadar gue konyol.”

“Rendy sudah tahu itu dan tetap menerimanya.”

“Za… plis ah. Lo sendiri gimana? Kalian dulu romantis banget pas pacaran dulu. Ya ampun, lo dan Faisal itu relationship goals banget, tau nggak sih?”

“Uf yang tampak itu impresi, mungkin ilusi. Yang lo lihat itu hanya sebagian dan yang sebagian itu belum tentu benar. Kesan bisa menipu, seperti… seperti tas KW-nya Vera. Salah gue juga dulu terlalu cepat menilai Faisal. Haha, kayaknya gue tertipu impresi.”

“Tasnya Vera KW? Masak sih… bukannya dia selalu bilang…”

“Gue bisa membedakan, say. Tanpa perlu memegang. Gue tahu kok bedanya.”

Yeah, Mira percaya. Zaza punya tas-tas branded asli, hadiah dari Faisal. Bedanya ia tidak pernah koar-koar seperti Vera. Ia tidak memajang benda-benda semacam itu di medsos.

Ugh, Mira tak percaya ini. Sebenarnya ia tak tahu lagi mana dan apa yang bisa ia percaya.

“Lo tahu kan, gue banyak benernya kalau menganalisis orang. Gue cuma payah kalau menganalisis diri sendiri, haha. Menurut gue, lo bisa catat ini Mir, sebentar lagi… akan ada yang terjadi sesuatu yang besar pada Vera.”

Mira tersentak,”Kenapa lo ngomong gitu?”

“Yah, kita melihat mendung dan kita tahu hujan akan segera turun.”

“Tapi…”

“Gue sempat berpikir untuk menghentikan hujan itu. Tetapi gue sendiri nggak yakin benar hujan macam apa yang bakal turun dan… andai gue tahu, yah, gue nggak akan bisa mencegah hujan. Gue rasakan getaran itu pada Vera. Getaran akan adanya hujan badai.”

“Tapi, bisa jadi angin bertiup dan hujan batal turun…”

“Itu dear, akan terjadi pada Rendy dan lo, tetapi nggak pada Vera.”

“Lo kayak cenayang.”

“Nggak. Gue psikolog, bukan cenayang.”

“Harusnya lo praktik lagi, Za.”

“Ya, kayaknya gue akan melakukannya. Segera. Setelah… setelah gue menyehatkan diri sendiri.”

“Gue mendoakan yang terbaik buat lo.”

“Gue juga.”

Mira memutus percakapan. Mendongak pada langit yang mulai gelap. Agak mendung, tetapi rasanya tidak bakal hujan. Ia mesti bergegas. Bila tidak dijemput Rendy, biasanya ia berjalan atau berlari ke stasiun yang berjarak setengah kilo dari kantor, tetapi kali ini ia enggan. Mungkin lebih baik ia memesan ojek online.

Ting, ting, ting. Bertubi-tubi pesan masuk. Semuanya ke WAG alumni fakultas. Hei, ada apa? WAG yang ini tak pernah sepi, tetapi juga tak pernah ramai, apalagi diberondong puluhan pesan per menit dan sekarang sudah ada seratus pesan lebih.

Vera. Vera. Vera.

Astaga. Astaga.

Vera punya utang di sana. Vera nipu di sini. Screen shoot dari IG. Forward gambar dan teks dari WAG lain. Potongan berita, “Demi biayai gaya hidup, cewek cantik ini nipu di mana-mana.” Berita lagi, “Model dan selebgram terancam dipenjara.” Potongan video, “Ketangkep pas photoshot, gaess. Heboh banget katanya.”

“Ternyata hidup ini penuh kepalsuan gaess. Yang murni cuma cinta gue.”

“Nggak nyangka.”

“Gue nyangka, sih.”

“Hiks, dia utang ke gue dua juta. Udah setahun. Gue udah nagih bolak-balik, tapi ngeles melulu. Pantes kan, dia keluar dari grup.”

“Dari dulu dia emang gitu sih ya. Ketinggian gaya.”

“Pinjem tas biasa kali ya, tapi doi selalu kasih kesan itu punya dia. Demi apa, coba?”

Sebagian membela, “Kalau gue lihat dia baik, sih. Cuma kayaknya terperosok gitu deh.”

“Yoi. Dia dulu baik. Kayak salah pergaulan aja nih anak.”

“Salah pergaulan medsos.”

Astaga, apakah Zaza mengetahui ini? Mira tak sanggup membaca lagi. Yang terbayang di benaknya cuma sepuluh juta yang sudah ia pinjamkan ke Vera dan kini ia yakini tak kan kembali. Sepuluh juta yang seharusnya bisa ia gunakan untuk melunasi gaun pengantin yang sudah ia masukkan ke penjahit (dan mungkin tak akan terpakai!). Lucunya, ia tak lagi merasa kehilangan. Astaga, dia benar-benar sudah membelanjakan sepuluh juta untuk gaun pengantin. Gaun pengantin standar tentu saja. Tak ada dana untuk yang lebih mewah dari itu. Rendy bahkan punya usul lebih gila, “Mengapa tidak menyewa saja?” Astaga, astaga, baru kini usul Rendy terasa masuk akal bagi Mira. Toh gaun itu tak bakal ia pakai kembali. Sulit juga untuk disimpan. Astaga. Astaga. Kembali sakit kepala menyerang Mira. Semua ini terlalu membingungkan.

Mira mendongak lagi. Beri aku jawaban. Beri aku jawaban.

Gerimis.

Sial, Mira memaki dalam hati. Ia tidak membawa payung.

Mira mengutuk kenapa ia berlama-lama di taman ini? Seharusnya ia pulang dari tadi. Yah, tetapi ia mendapatkan pelajaran penting dari Zaza. Kini, meskipun masih pusing, ia jauh lebih tenang. Kita tak bisa mencegah hujan turun, tapi tak ada hujan yang tak berhenti. Dan yeah, hujan juga punya cantiknya sendiri.

Beberapa karyawan yang barusan keluar dari gedung kini berlari-lari, dengan payung, tas atau jaket di atas kepala.

Mira menyimpan handphone-nya, berjalan cepat.  

“Mir! Mira!”

Rendy!

Ia merasakan jemari laki-laki itu menggapai lengannya.

“Ren? Kamu di sini?”

“Untung kamu masih di sini, jalan macet dan aku khawatir terlambat.”

Aku menelepon Zaza dan menguprek berita tentang Vera. Untung saja.

I miss you, Mir.” Rendy memeluknya.

Ya ampun. Mira baru menyadari betapa kangennya ia pada pelukan ini. Aroma Rendy yang khas membuainya; campuran antara pewangi pakaian dan cologne samar.

I miss you, too.” Bisik Mira. So much. Dalam dinginnya cuaca kehangatan Rendy menjalar hingga ke dalam hatinya.

“Mir, aku minta maaf.” Rendy mengendurkan pelukan. Suara Rendy terdengar berat dan dalam. Mira tak percaya ia nyaris kehilangan suara itu.

“Hei, aku yang minta maaf.”

Rendy memutar tubuhnya menghadap Mira, “Aku sudah berpikir selama tiga hari ini dan…”

“Aku juga… dan…”

“Aku konyol. Maksudku kalau cuma gerbang Wis… Wis… apa itu dan foto prewed, kau berhak mendapatkannya.”

“Tapi aku tidak menginginkannya. Tidak lagi…”

“Hujan, Mir. Ayo lari ke mobil. Sorry aku nggak bawa jaket jadi kita nggak bisa romantis ala…”

“Kamu emang dari dulu nggak romantis, kan? Mobilmu di mana?”

“Dekat lobi, bentar lagi diderek satpam.”

“Cepetan.”

Rendy melarikan mobilnya segera bahkan sebelum Mira beres menutup pintu. Mira sibuk mengeringkan rambutnya dengan tisu.

Sejenak mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing sambil menatap senja di Jakarta lewat jendela mobil berkabut.

“Yah, kau tahu aku memang nggak romantis. Jadi aku nggak tahu bagaimana harus mengatakan ini…”

“Mengatakan apa?”

“Maukah kau menjadi istriku? Lagi?”

Rendy susah payah merogoh saku celananya sambil menyetir.

“Maukah kamu?”

Benda itu terulur dengan jemari Rendy yang gemetar. Cincin emas berpotongan sederhana, tanpa permata, tetapi Mira meleleh dibuatnya.

“Rendy, ini manis sekali. Tentu saja aku bersedia.”

Plas, cincin itu terjatuh karena jari Rendy dan Mira sama-sama gemetar.

“Oh, shit… aku tahu seharusnya aku nggak usah sok-sok romantis kayak gini,” Rendy menepuk dahi.

Mira membungkuk, menyururukkan tangan ke bawah jok.

“Yeah, menakjubkan bukan hal-hal yang kamu lakukan atas nama cinta. Jatuh ke mana tadi?”

“Itu dia. Di dekat kakimu.”

Mira membungkuk lagi, menjulurkan tangan, kepalanya terantuk dashboard dalam prosesnya.

“Aw.”

“Kamu nggak papa?”

“Cincinnya nggak papa. Ketemu.” Mira mengusap dahinya.

“Aku beli di Cikini.”

“Sudah kuduga. Nggak pakai jasa Go-Shop?”

“Kepikiran sih.”

“Lihat, pas bener di jariku. Kau benar-benar mengenalku.”

Luck.”

“I love it, Ren. Trims.”

“Jadi kamu pengin prewed di mana?”

“Aku nggak ingin prewed. Nggak lagi. Atau oke deh prewed di studio aja. Tapi aku ingin…”

“Apa?”

“Bulan madu di Bali atau Bangkok.”

Rendy nyengir. “Kamu mendapatkannya. Kita bisa mengambil banyak foto dan membuat jutaan orang iri. Mereka akan bilang relationship goals bingit!”

“Ren, aku nggak ingin pernikahan Instagram.”

Rendy menoleh, menatap Mira dalam. Di luar hujan deras mulai melecut-lecut.

“Aku hanya ingin kamu, kita,” Mira berkata lirih.

Rendy mencondongkan tubuhnya, menjangkau bahu Mira, “Kamu sudah mendapatkannya, Mir. Sejak pertama kali aku melihatmu.”

Mira meremas balik jemari Rendy. Kehangatan genggaman itu  menjalar hingga ke dalam dada. Beribu pikiran menyerbu benaknya, tak sabar untuk dilontarkan; soal anak, soal pekerjaan, soal Zaza, soal Vera, soal berkas-berkas KUA. Tapi ia menahan diri. Membiarkan semua tertata hingga tenang kembali. Bersabarlah, Mira berkata pada dirinya sendiri. Akan ada waktu untuk semuanya.

Mira menoleh, tersenyum pada Rendy yang memandang lurus ke depan, menyetir dengan gaya khasnya. Rambut lelaki itu jatuh ke dahi dan Mira secara instingtif mengulurkan tangan untuk menyibaknya. Saat itulah Rendy menoleh, mencondongkan tubuh, dan mencium bibir Mira sekilas. Mendadak dunia Mira terasa penuh dan lengkap. Ia tahu ada waktu untuk menggenggam, ada waktu untuk melepas. Ada saat mendapatkan, ada saat kehilangan. Saat ini aku mendapatkan kebahagiaan ini, pikirnya. Suatu saat mungkin ini semua akan hilang. Tetapi selagi dalam genggaman, hal terbaik yang bisa kulakukan adalah menikmatinya dan menjaganya semampuku.Sekuatku. 

           

| TAMAT

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi