We may not be able to prepare the future for our children, but we can at least prepare our children for the future.
Franklin D. Roosevelt

Mari Merayakan Hidup

author
Ken Terate
Sabtu, 16 Maret 2019 | 08:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Bulan ini anak ke dua saya berusia empat tahun. Apakah kami merayakannya? Jelas. Yah, meski cuma dirayakan sekeluarga. Si kecil meniup lilin, kami berdoa dan menyantap kue (benar-benar cuma kue doang), lalu membuka kado. Kadonya juga cuma mainan kereta api dan truk pemadam kebakaran sesuai permintaan. Semua itu hanya makan waktu kira-kira sepuluh menit. Sepuluh menit yang sangat membahagiakan.

Di waktu lalu, ulang tahun saya dan saudara-saudara jarang dirayakan. Maklum, ekonomi pas-pasan, anak ada empat. Tetapi yang jarang dan super irit itu saya syukuri. Pernah salah satu ultah saya dirayakan dengan nasi goreng buatan rumah yang biasa banget, tetapi terasa istimewa karena sebelum makan kami berdoa khusus dan saya diberi ucapan selamat. Aha! Kebahagiaan saya timbul bukan karena nasi goreng, tetapi karena diperhatikan, tidak dilupakan.

Saya pikir merayakan hidup memang perlu; mau itu ultah, anniversary, hari ibu, hari raya keagamaan, atau capaian prestasi. Enggak harus perayaan ekstravaganza selama itu memberi kita jeda buat merasa ‘yass, ternyata aku berharga’.

Baca juga: Menjadi Orang Tua Ideal, Antara Impian dan Kenyataan

Setelah mendapat bayaran dari proyek besar (yang bikin kerja lembur sampai mata jereng) saya biasa merayakannya dengan membeli sesuatu yang saya idamkan, entah itu tas, sepatu, atau buku. Sampai sekarang saya masih ingat, “Ah, tas itu kenang-kenangan dari proyek menulis untuk klien X. Sepatu itu saya dapatkan dari proyek Y.” Kadang saya menghadiahi diri sendiri dengan spa atau mentraktir suami dan anak-anak. Bagi saya inilah merupakan upaya mengapresiasi diri sendiri.

SHUTTERSTOCK |

Bagusnya lagi, perayaan akhirnya membentuk tradisi keluarga. Saya enggak pernah merasa  tradisi keluarga itu penting hingga saya dewasa. Dulu waktu kecil saya seneng banget tiap kali Lebaran tiba. Mami dan papi yang sehari-hari sibuk kerja meluangkan waktu untuk memanggang kue kering. Malam sebelum Lebaran dapur pasti hangat oleh uap opor dan sambal goreng. Saya ingat debaran menanti Hari Raya dan kegembiraan saat akhirnya hari itu benar-benar tiba.

“Aku mau repot begini agar suatu saat nanti saat kalian sudah meninggalkan rumah, kalian tetap pulang, minimal pas Lebaran untuk mencicipi opor dan sambal goreng,” kata mami.

Ah, betapa benarnya. Saya selalu kangen masakan mami bahkan bertahun-tahun setelah ia tiada. Tapi yang lebih saya kangeni adalah tradisinya; makan opor, sungkeman, silaturahmi. Tradisi menciptakan ritme dan ekspektasi,  semacam “Yipie, sebentar lagi Tahun Baru. Senang deh, para ponakan bakal datang buat barbecue-an.”

Baca juga: Test Pack

Dalam satu film pendek “Olaf”, Elsa dan Anna (dari Frozen) kecewa berat saat tak seorang pun menghadiri pesta Natal yang mereka siapkan karena masing-masing merayakan tradisi keluarga. Kekecewaan itu berubah jadi kesedihan dan rasa iri saat mereka sadar mereka tidak punya tradisi!

Setelah menikah saya menciptakan tradisi keluarga saya sendiri; makan-makan saat ulang tahun, bakar jagung pada malam Tahun Baru, hingga masak ketupat pas Lebaran.

Perayaan (yang akhirnya membentuk tradisi) –selama tidak dipaksakan-- menjadi salah satu alasan bagi saya untuk bersemangat bangun pagi. “Ah, sebentar lagi suami ultah. Hm, kasih kado apa ya? Mau makan di mana ya?” Ha! Bahkan merancangnya pun menyenangkan. Dan percaya deh jeda sejenak untuk merayakan hidup ternyata menyehatkan jiwa. Setidaknya, kita jadi ingat untuk mensyukuri nikmat yang kita dapatkan. 

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi