What it’s like to be a parent: It’s one of the hardest things you’ll ever do but in exchange it teaches you the meaning of unconditional love.
Nicholas Sparks

Kita Semua Sempurna

author
Sundari Hana Respati
Rabu, 27 Maret 2019 | 14:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Zaman sekarang tampaknya semua sudah punya smartphone yang diisi berbagai macam aplikasi sosial media, termasuk aku. Saat ini aku aktif di Instagram dan Tumblr. Bagiku, Instagram adalah kumpulan gemerlap dunia dan tempatnya berbagi kabar bahagia, sedangkan Tumblr adalah rumah, tempat nyaman untuk menuangkan segala keluh kesah.

Maka dari itu, seringkali aku berbagi momen bahagia di Instagram, seperti foto saat liburan, jalan-jalan, atau sekadar berbagi percakapan lucu antara aku dan suamiku.

Sampai suatu hari ada pesan yang masuk ke direct message-ku. Isinya kurang lebih seperti ini, “Sempurna banget ya Kak hidupnya. Gimana sih caranya biar bisa terus bahagia kayak mbak Hana?”

Aku tertegun sejenak membaca barisan kata itu. Teringat pula beberapa kali aku menggumamkan hal yang sama ketika berselancar di sosial media, tanpa sadar membandingkan diri dengan yang lain. Sampai akhirnya aku sadar bahwa berkecimpung di sosial media jaman sekarang harus kuat hati. Harus bijaksana dan latihan mengolah rasa, yakni rasa syukur.

Bersyukur dengan apa yang kita punya ketika melihat orang lain yang tidak lebih beruntung dari kita, maupun ketika melihat kehidupan orang yang terlihat jauh lebih nyaman dari kehidupan kita. Bersyukur dari melihat apa yang orang punya kadang terasa agak sulit, harus hati-hati jangan sampai tergelincir ke rasa iri (ngomong sama diri sendiri).

Di dunia maya kita dipersilahkan melihat kehidupan orang lain lewat layar selama hitungan detik, atau melihat potongan gambar tanpa tahu apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya.

Kalau kata orang Jawa “Urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang.” Yang artinya hidup hanya tentang melihat dan dilihat, maka jangan hanya melihat dari apa yang terlihat. Kita tidak pernah tahu apa kisah dibalik kesuksesan atau kebahagiaan orang lain kita lihat itu. Apa saja yang mereka korbankan atau bagaimana perjuangan yang mereka lakukan.

Kembali ke pesan yang sampai padaku tadi. Bukan, bukan hidup kami yang sempurna. Tapi Allah Sang Maha Sempurna yang mencukupkan hidup kami. Allah beri yang kami butuhkan. Tak kurang satu apapun. Lengkap. Lengkap dengan rasa sedih dan kecewa yang terkadang mampir di kehidupan kami. Kami hanya memilah mana yang perlu dibagi dan mana yang harus kami simpan sendiri.

Bukankah justru gejolak perasaan itu yang menjadikan kita manusia sempurna karena akal yang kita punya? Coba aja, kalau kita tidak pernah tahu rasanya sedih, bagaimana kita bisa tahu ada rasa bahagia?

Hidupmu pun sempurna untuk ukuranmu.

Apa-apa yang Tuhan datangkan dan yang Tuhan ambil dari kita adalah untuk menyempurrnakan hidup kita. Termasuk bahagia dan sedihnya, sehat dan sakit yang kita rasa. Cobaan dan ujian yang Allah beri pun tidak akan melebihi batas kemampuan kita. Maka, rasa syukurlah yang dapat melapangkan dada kita. Menghangatkan hati kita, agar rasa sedih yang kita rasa bisa larut dan menghilang berganti kenikmatan tak terkira. Bukankah itu salah satu janji Allah, yakni menambahkan kenikmatan ketika kita menambah rasa syukur kita?

Rasa syukur tak harus menunggu hal-hal besar, banyak hal kecil yang kadang kita abaikan. Seperti udara bersih yang bisa hirup, aliran air bersih yang lancar, jemari yang bergerak dengan sempurna, punya tempat berlindung dari panas atau hujan, dan banyak lagi. Coba kamu sebutkan lima hal yang kamu syukuri hari ini sampai saat kamu membaca tulisan ini. Kamu akan menemukan banyak hal yang patut disyukuri lebih dari jumlah yang aku minta.

 

SUNDARI HANA RESPATI

Penulis Sundari Hana Respati
Editor Ratih Sukma Pertiwi