Too much love never spoils children. Children become spoiled when we substitute presents for presence.
Anthony Withman

Iri Hati, Faktor Penyebab Utama Bullying Pontianak?

author
Hasto Prianggoro
Kamis, 11 April 2019 | 22:35 WIB
| SHUTTERSTOCK

Kasus dugaan bullying yang dialami Audrey, siswi SMP di Pontianak, Kalbar, mengundang banyak reaksi dan memunculkan tagar #JusticeForAudrey. Kenapa para tersangka pelaku tega melakukan aksi sekejam itu?  

Yang juga mengundang tanda tanya dan reaksi publik, khususnya netizen, adalah bagaimana bisa para tersangka yang masih berusia belasan tahun itu mengunggah IG Story dengan wajah tanpa dosa, setelah melakukan bullying.

 

Menurut Hanlie Muliani, M.Psi., Psikolog Anak, Remaja dan Pendidikan, Bullying Prevention Consultant dan Founder of SOA (Sahabat Orangtua & Anak), apa yang dilakukan para tersangka, termasuk mengunggah IG Story dengan wajah tanpa dosa saat diperiksa polisi, adalah karena tidak adanya empati. Bagaimana bisa, habis menyakiti orang, masih tertawa-tawa senang?

“Selain kehilangan empati, mereka juga kehilangan toleransi dan rasa welas asih. Tentu saja itu tidak serta merta menjadi seperti itu tetapi bentukan. Pengaruh keluarga, teman, lingkungan, dan lain-lain,“ lanjut Hanlie.

Diduga penyebab kasus ini adalah soal cinta. Dari hasil interaksi dengan anak-anak yang memiliki kasus bullying di berbagai negara, Hanlie mengatakan bahwa alasan utama anak perempuan melakukan kejahatan dalam konteks bullying terhadap temannya adalah karena iri hati, karena cemburu (jealous).

| SHUTTERSTOCK
Kecemburuan ini bisa dicetuskan oleh banyak faktor, faktor paling populer adalah karena urusan fisik. Misalnya soal kecantikan, talent, karena korban bully ditaksir banyak cowok atau cowok yang ditaksir malah suka sama orang yang dibully, personality, popularitas, barang yang dimiliki, dan sebagainya.

“Kata kuncinya, iri hati atau jealous,” kata Hanlie. Jika alasan utamanya adalah rasa iri atau cemburu, orang yang iri memang ingin melihat orang yang membuatnya iri hidup sengsara.

“Mereka nggak senang kalau orang yang membuat mereka iri hidup tenang dan bahagia. Penginnya melihat mereka sengsara. Jadi, bagaimana mungkin mengharap empati dari mereka? Bisa saja wajahnya terlihat berempati tapi hatinya tidak."

 

Penulis Hasto Prianggoro
Editor Hasto Prianggoro