To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Menjadi Seperti Ibu

author
Ken Terate
Sabtu, 13 April 2019 | 09:00 WIB
Shutterstock |

“Besok aku enggak mau tumbuh kayak ibu.” Itulah tekad saya waktu kecil. Ibu saya –kini sudah tiada-- berperawakan gemuk dan pendek. Definisinya tentang makeup adalah: bedak dan lipstik murah yang dijual di toko sebelah. Saat sedang di rumah baju wajibnya adalah: daster batik tanpa lekuk yang seringkali sudah sobek--.

Setiap malam anak-anaknya diminta bergantian memijit kakinya. Kakinya gemuk dan bervarises. Kukunya tebal dan tumitnya pecah-pecah. Sesekali, koyo tertempel di dahi dan tengkuknya. Di waktu lain aroma balsam menguar sebagai ganti aroma parfum Chanel no 5.

Ibu tidak seperti artis yang sering wira-wiri di TV, yang rambutnya keren permanen meski badai menghantam. Kulit ibu nyaris tak tersentuh perawatan selain cuci muka. Di mata saya yang masih kanak-kanak, ibu bukanlah perempuan ideal secara fisik. Maka saya bertekad, “Besok kalau aku sudah dewasa, aku enggak bakal pakai minyak gosok, enggak bakal minta anak-anakku mijetin, enggak bakal pakai daster batik kayak ibu.”

Tahun-tahun berlalu, lalu tiba-tiba… minyak gosok –eh, aromatherapy oil-- menjadi penghuni yang tak boleh absen di meja depan cermin dan sesekali koyo menempel di bahu dan tengkuk.

Tekad saya untuk tidak memakai daster batik runtuh begitu saya hamil. Di luar rumah saya masih pakai celana berpinggang karet, tetapi begitu di rumah, saya langsung berganti daster karena ruam di perut dan pinggang bisa makin parah bila tertekan karet celana.

Baca juga: Nasihat Ibuk

Saya sungguh berutang budi pada siapa pun penemu daster. Rasanya tak ada baju yang lebih praktis, lebih adem, dan lebih ‘semriwing’ daripada ini. Tak butuh waktu lama bagi para daster itu untuk sobek, tetapi tetap saya pakai. Habis, enak sih. Daster itu seperti kaos oblong, makin tipis, makin bluwek, makin nyaman dipakai. Apalah arti sobek lima atau sepuluh senti.

Shutterstock |

Kini, saat menatap cermin, saya menatap bayangan ibu saya. Badan saya menggendat seolah-olah saya nyemil Fermipan saban hari. Tiap kehamilan menambah bobot lima kilo dan tak mau pergi meski bayinya sudah lepas dari perut.

Makeup saya juga brand murah yang lagi diskon. Saya sudah menjadi ibu saya. Bukannya saya sudah tak kepengin menjadi ibu tjantik seperti Dian Sastro atau Nia Ramadhani (tetep dong, saya mau banget punya penampilan kayak mereka), tapi dengan bayi yang menuntut digendong ke mana-mana (bahkan meski udah bawa stroller) pakai high heels sama saja menyiksa diri sendiri. Dan mengapa harus pakai baju bagus bila semenit kemudian baju itu jadi penampung pipis dan muntahan? Masihkah perlu ditanya mengapa kini saya bersahabat dengan minyak gos… eh aromatherapy oil?

Baca juga: Pelukan Sang Ibu “Menghidupkan” Bayi Yang Sudah Dinyatakan Meninggal

Konon, kamu enggak akan bisa mengerti keadaan seseorang hingga kamu berjalan berkilo-kilo dengan sepatunya.  Kini saya berjalan mengenakan sepatu ibu –yah, bukan sepatunya dia sepenuhnya, tapi mirip lah—dan mendadak saya mengerti sekaligus menghargainya.

Ibu bekerja begitu keras demi anak-anaknya hingga mengesampingkan diri sendiri. Kadang dia memasak dengan berat hati, kadang dia mengeluh kecapekan, tetapi saya yakin ia tidak menyesal. Kenapa saya yakin? Karena saya juga begitu.

Saya jengkel melihat jejak kaki berlumpur di lantai keramik yang barusan dipel. Saya stres bila anak-anak rewel sementara saya dikejar deadline. Saya galau mana yang harus saya beli lebih dulu; baju buat saya atau sepatu buat anak (dan nyaris selalu berakhir dengan membeli kebutuhan anak saya).

Namun,  andai waktu bisa diputar ulang dan saya bisa memilih, saya akan tetap memilih menjadi ibu bagi anak-anak menggemaskan itu. Saya sadari, jangankan untuk menjadi seperti ibu saya, untuk mendekati kebaikan dan kesabarannya pun mungkin saya tak bisa.

Anak-anak, saya rasa juga lebih memilih ibu yang dasteran tapi mau seru-seruan bikin donat dibanding ibu bermanikur sempurna tapi ogah diajak main lumpur (ya syukur sih, kalau ada ibu yang bermanikur sempurna DAN mau main lumpur).

Andaipun anak-anak saya mengangankan ibunya cantik seperti dalam serial TV, sama seperti saya dulu, saya tahu suatu hari mereka akan mengerti mengapa ibunya tidak bisa (atau tidak mau) secantik itu. Suatu hari nanti, saat mereka sudah menempelkan lembaran koyo di bahu.

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi