I finally realized that being grateful to my body was key to giving more love to myself.
Oprah Winfrey

Semua Ibu adalah Ibu Bekerja

author
Ken Terate
Sabtu, 17 Agustus 2019 | 08:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

 

"Wah, bagus deh anter-jemput si Bujang, daripada nganggur ongkang-ongkang kaki di rumah..."

WHAAATTT???

Langsung saya unjuk taring dan hunus tatapan tajam. Plus mengeluarkan smartphone dan menunjukkan album berjudul My Books.

"Eh, Oma, saya ini kerja lho. Saya pengarang dan editor. Nih, lihat ini buku yang ini bisa dibeli di Gramedia. Kalau ini cetak khusus untuk keluarga klien saja. Ini novel, ini biografi, ini psikologi parenting.”

"Oh, maaf deh, habisan dikira..."

Itu adalah postingan editor plus teman saya Donna Widjajanto di medsos yang saya pikir relatable banget dengan situasi perempuan zaman sekarang. Kerja salah, nggak kerja makin salah. Kerja di luar dinyinyirin, kerja di rumah dituduh nganggur.

Saya teringat ungkapan “All moms are working moms” yang saya baca beberapa tahun lalu. Eh, bener banget nggak, sih. Moms di sini bermakna luas; perempuan dewasa pada umumnya. Yang menikah, maupun lajang. Yang punya maupun tanpa anak.

Ambil contoh Yuyun yang begitu lulus kuliah memutuskan menikah dan menjadi perempuan rumah tangga. Meski belum punya anak, Yuyun lumayan sibuk. Ia menyiapkan sarapan dan bekal suaminya, mengawasi renovasi rumah, menghadiri rapat RT, hingga mengurus pajak. Kegiatan lainnya? Mendampingi ortu dan mertuanya dalam segala urusan.

Yang terjadi pada Ida lain lagi. Saat kariernya di ibu kota sudah mapan, perempuan lajang ini justru resign dan pulang kampung untuk merawat ibunya yang memasuki fase terminal dalam sakitnya. Beberapa bulan kemudian si ibu tiada.

Apakah Yuyun dan Ida dapat dikatakan menganggur, sementara mereka berdua bisa jadi lebih sibuk dibanding karyawan kantoran? Beban dan tanggung jawab mereka juga sama-sama berat.

Sudah banyak tulisan yang mengangkat sibuknya ibu rumah tangga yang kadang melebihi sibuknya pejabat. Mau dikerjakan dari subuh sampai tengah malam, tugas tak pernah kelar. Saat tidur pun harus terbangun untuk menyusui, mengganti popok, atau menenangkan anak yang terjaga karena mimpi buruk. Nyaris nggak ada hari liburnya.

Saya pikir sudah bukan saatnya lagi mendebatkan mana yang lebih baik, ibu bekerja atau ibu rumah tangga karena itu tadi; semua ibu adalah ibu bekerja. Hanya medannya saja yang berbeda.

Kita nggak akan pernah tau persis mengapa perempuan itu milih kerja di rumah padahal dulu ia kerja di bank dengan gaji besar misalnya. Atau mengapa perempuan itu milih melanjutkan studi keluar negeri dan meninggalkan anaknya selama beberapa tahun. 

Setiap rumah tangga punya kondisi uniknya sendiri; ada anak yang punya kebutuhan khusus, adik-adik yang butuh biaya kuliah, orangtua yang butuh pendampingan, atau suami yang bekerja di luar pulau. Dan kalau dipikir-pikir bukankah semua membentuk support system yang menggerakkan satu sama lain?

Ketika saya memutuskan untuk bekerja di rumah setelah punya anak, suami sangat senang. Ia tak pernah mencegah saya bekerja di luar rumah, tetapi ia mengaku lega ketika tahu anak-anak akan berada di dalam pengasuhan ibunya sendiri. “Aku bisa tenang bekerja,” katanya. Saya juga bisa tenang menjalani pekerjaan freelance saya karena ada dukungan keuangan tetap dari suami. Setelah melahirkan dan harus menyusui secara eksklusif misalnya, saya tak ragu untuk tidak mengambil job beberapa bulan karena ada gaji suami. 

Donna, Ida, dan Yuyun menjadi bagian dari sistem dukungan dalam masyarakat luas dengan cara masing-masing. Kita butuh perempuan di luar rumah. Kita butuh perempuan di dalam rumah. Kita butuh perempuan yang menghasilkan uang dan perempuan yang membelanjakan uang. Dan semuanya adalah perempuan BEKERJA.

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi