We may not be able to prepare the future for our children, but we can at least prepare our children for the future.
Franklin D. Roosevelt

Insecurity pada Ibu Baru, Wajar dan Harus Direspon dengan Benar

author
Ruth Sinambela
Selasa, 30 Maret 2021 | 19:51 WIB
Perasaan gagal atau tidak cukup baik sebagai ibu baru dapat memicu rasa insecure. | Shutterstock

 

Secara literal, kata insecure dalam Bahasa Indonesia berarti tidak aman. Insecure sendiri umumnya dikaitkan dengan perasaan dalam diri seseorang yang merasa tidak cukup baik dalam melakukan perannya di kehidupan sehari-hari.

Kondisi perasaan ini bisa terjadi pada siapa saja, tidak mengenal usia, gender, profesi dan status sosial ekonomi. Dilansir dari halaman Psychology Today, rasa insecure atau insecurities pada sebagian orang bisa terjadi saat ada kejadian atau situasi tertentu yang menjadi pemicunya, namun bagi sebagian lainnya, perasaan ini bisa terjadi terus menerus.

Jika bicara soal pemicu rasa insecure, sudah bukan rahasia lagi kalau perubahan hidup dalam peran sebagai ibu baru untuk pertama kali adalah salah satu penyebab yang paling umum.

 

Baby Blues dan Postpartum Depression

Bunda pernah mendengar atau membaca istilah baby blues dan postpartum depression? Atau, justru pernah mengalaminya? Nyatanya, dalam tahapan tertentu, perasaan insecure memang dapat menyebabkan depresi.

Sekitar 80% perempuan mengalami baby blues setelah melahirkan. Gejala baby blues kadang terlihat sepele, namun tetap harus segera ditangani secara serius sebelum berdampak negatif bagi ibu maupun bayi. Baby blues merupakan gangguan suasana hati yang dialami ibu setelah melahirkan. Kondidi ini membuat ibu akan mudah lelah, sedih dan marah tanpa alasan jelas.

Sejalan dengan penyebab rasa insecure pada ibu yang baru melahirkan, baby blues juga kerap disebabkan oleh rasa tidak mampu menjalankan tugas sebagai ibu dan memberi yang terbaik pada si kecil.

 

Baca juga: Ini Perbedaan Baby Blues dan Postpartum Depression

 

Dialami Semua Ibu dari Segala Kalangan

Seperti yang belum lama ini terjadi pada ibu muda yang juga merupakan seorang influencer, Acha Sinaga. Acha yang sehari-hari tinggal di Australia, memposting sebuah video berdurasi 11 menit 14 detik di kanal YouTube dengan judul BABY BLUES / POSTPARTUM DEPRESSION NYATA ADANYA.

Dalam video tersebut, Acha yang telah dikaruniai anak laki-laki yang kini telah menginjak usia satu tahun menceritakan pengalamannya merasa ‘gagal’ jadi ibu yang baik karena tidak memberikan sleep training pada Lucas, bayi laki-lakinya.

Acha juga menceritakan bahwa merasa lelah secara fisik dalam keseharian mengurus bayi adalah perasaan yang wajar serta normal. Video yang kini sudah ditonton lebih dari 140 ribu kali itu kemudian ditutup dengan pesan manis kepada sesama ibu untuk tidak merasa sendirian, karena hal semacam insecurities, baby blues bahkan depresi setelah melahirkan juga dirasakan oleh banyak ibu lainnya di seluruh dunia.

 

Tiga Hal Utama Penyebab Insecurity

Dalam artikel berjudul The 3 Most Common Causes of Insecurity and How to Beat Them, sang penulis Melanie Greenberg Ph.D melalui Psychology Today menjelaskan bahwa ada 3 tipe atau alasan utama seseorang mengalami insecurities.

Tipe pertama, adalah insecurity yang disebabkan oleh kegagalan dan penolakan. Tipe ini membuat seseorang yang awalnya baik-baik saja, jadi mulai mengalami gangguan karena adanya satu kejadian yang tidak sesuai harapan. Putus cinta atau berakhirnya hubungan dengan komitmen memiliki kontribusi besar dalam situasi ini. Diikuti oleh kepergian orang terdekat (kematian), kehilangan pekerjaan, dan situasi kesehatan yang buruk, misalnya vonis penyakit kronis secara tiba-tiba.

Tipe kedua, adalah rasa insecure yang tercipta karena kegelisahan harus memenuhi standar sosial. Tipe kedua inilah yang umumnya terjadi pada ibu yang baru melahirkan. Kita semua tentu tahu bahwa setiap anak dan orang tua merupakan individu yang unik dan berbeda-beda, tidak dapat disamakan atau dibandingkan satu dengan yang lainnya. Namun, dengan pesatnya perkembangan teknologi dan gencarnya arus informasi di sosial media, memahami dan menerima keunikan diri tiap individu kadang jadi hal yang dilupakan. Sehingga kita mulai membandingkan diri dengan ibu lain, misalnya dalam hal bentuk tubuh atau berat badan, pencapaian dalam mengasuh anak ataupun karir. Juga membandingkan anak sendiri dengan anak orang lain, dari soal pola asuh, kebiasan anak dan lain sebagainya. Mulai merasa gagal karena diri dan anak sendiri tidak dapat menyamai standar atau pencapaian yang dimiliki orang lain.

Tipe ketiga, adalah insecurity yang dipicu oleh sifat perfectionist. Tak jarang para ibu baru juga mengalami insecurity atau depresi karena alasan yang satu ini. Seperti yang kita ketahui, saat seorang perempuan mengemban peran baru sebagai seorang Ibu, hidupnya akan berbuah 180 derajat. Tidak terkecuali dengan mereka yang memiliki kemampuan meng-hire asisten rumah tangga untuk membantu dan meringankan pekerjaan, atau yang mendapat bantuan dari pihak lainnya. Perempuan dengan sifat perfectionist yang biasanya mampu memastikan seluruh aspek kehidupannya berjalan baik sesuai rencana mulai kehilangan kemampuan itu. Hal ini tentu mengagetkan di awal. Sehingga tidak sedikit yang kemudian kebingungan hingga akhirnya merasa insecure karna merasa kualitas dirinya telah menurun dan berubah seiring dengan peran barunya sebagai ibu.

 

Baca juga: 10 Hal Ini Bisa Jauhkan Kamu Dari Baby Blues

 

Apa yang Harus Ibu Lakukan?

Bunda familiar dengan semua yang tertulis di atas? Hal pertama yang perlu Bunda ingat adalah, semua itu wajar dan normal. Tidak perlu merasa bersalah, seperti yang diungkapkan oleh Acha Sinaga, bahwa memiliki perasaan insecure, lelah, jenuh dan marah atas situasi menjadi Ibu baru bukan berarti seorang ibu tidak bersyukur dan tidak menyayangi bayinya.

Hal yang perlu Bunda lakukan untuk melewati fase ini adalah menerimanya. Tidak perlu ada penolakan dalam diri sendiri, atau denial bahwa Bunda memang sedang mengalami situasi yang tidak baik. Dengan adanya penerimaan akan sebuah situasi, Bunda akan jadi lebih peka terhadap kebutuhan diri. Bagaimana sebaiknya membagikan beban yang dimiliki juga bantuan seperti apa dan dari siapa yang tepat untuk dicari.

Selanjutnya, adalah merespon kebutuhan diri akan bantuan. Bagi sebagian ibu, bercerita atau curhat sudah sangat dapat meringankan beban. Orang pertama yang patut jadi tempat Bunda bercerita tentu saja adalah pasangan. Minta kepada pasangan untuk sekadar mendengar dan memberi respon positif berupa validasi perasaan dan bukan sebaliknya, menekan untuk membuang jauh-jauh perasaan negatif yang tengah Bunda rasakan.

 

Baca juga: 10 Hal Ini Bisa Jauhkan Kamu Dari Baby Blues

 

Jangan Ragu Meminta Bantuan Profesional

Selain pasangan, orang tua, saudara dan sahabat adalah orang-orang yang bisa jadi teman berbagi cerita atau curahan hati. Namun jika Bunda merasa bercerita pada orang terdekat masih belum cukup, jangan pernah ragu untuk meminta bantuan profesional seperti psikolog atau psikiater.

Cara mendapat bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental tidak sesulit dan semahal yang Bunda bayangkan. Bantuan untuk masalah kesehatan mental dapat diakses dari fasilitas kesehatan lingkungan seperti Puskesmas di kota-kota besar. Selain Puskesmas, Bunda juga bisa langsung mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah dan menanyakan informasi mengenai bantuan kesehatan mental. Baik dari Puskesmas maupun RS, dapat memberi bantuan secara gratis jika Bunda memiliki akses BPJS.

 

Sediakan Waktu untuk Diri Sendiri atau ‘Me Time’

Hal lainnya yang dapat Bunda lakukan selain melepaskan beban melalui cerita adalah mengambil waktu singkat untuk relaksasi atau yang biasa disebut ‘me time’. Titipkan si kecil pada anggota keluarga yang Bunda percaya, lengkap dengan stok ASI atau formula, makanan dan camilan, serta seluruh keperluan bayi untuk membuatnya aman dan nyaman selama Bunda pergi memanjakan diri. Seperti mengunjungi tempat pijat, salon kecantikan, atau sekadar nonton film bersama pasangan. Jangan khawatir ya Bunda. Si kecil tidak akan marah atau sakit hati kok, ditinggal oleh ibunya beberapa jam.

Penulis Ruth Sinambela
Editor Ratih Sukma Pertiwi