Keep your face always toward the sunshine, and shadows will fall behind you
Walt Whitman

Hati-Hati, Anak-Anak Bisa Kena Emotional Eating!

author
Ratih Sukma Pertiwi
Selasa, 11 Juni 2024 | 19:02 WIB
Jika dibiarkan berlarut-larut, emotional eating dapat menyebabkan obesitas hingga diabetes pada anak | Shutterstock

Setiap merasa marah atau sedih, nafsu makan si Kecil justru bertambah. Bahkan segala makanan, termasuk junk food dan aneka camilan manis, dilahap lebih banyak daripada biasanya. Hati-hati, Bun, bisa jadi itu adalah emotional eating.

Emotional eating atau lapar emosional adalah perilaku seseorang menggunakan kegiatan makan atau makanan untuk mengobati atau melampiaskan perasaan kecewa atau marah. Emotional eating tentu saja bukan didasarkan pada kebutuhan makan karena lapar (lapar fisik/physical eating), melainkan gangguan emosional yang menyebabkan hormon stres meningkat dan keinginan makan muncul.

Dilansir dari situs KidsHealth, anak-anak bisa juga terkena emotional eating. Sebetulnya emotional eating dalam kadar yang masih belum berbahaya dapat ditemukan dalam aktivitas sehari-hari. Misalnya, seorang anak bisa tanpa sadar menghabiskan satu kantong keripik kentang saat sedang dilanda bosan, atau menghabiskan satu stoples biskuit saat merasa tertekan mengerjakan tes sekolah. Anak merasa rasa khawatir atau takutnya teralihkan dengan rasa nyaman saat mengunyah makanan.

Bahayanya, emotional eating berpengaruh pada kesehatan anak Bun, terutama peningkatan berat badan berlebihan. Apalagi, biasanya makanan-makanan untuk “pelampiasan” emotional eating adalah makanan-makanan junk food atau comfort food, seperti pizza, es krim, cokelat, kacang, keripik kentang, dan biskuit. Makanan-makanan tersebut rentan memicu penyakit-penyakit, seperti obesitas, diabetes, karies gigi, gangguan pencernaan, pubertas dini, bahkan depresi.

Baca juga:  Stress Eating, Begini Cara Mencegahnya

Perilaku Orang Tua

Yang sering kali terlupakan, gaya makan orang tua juga dapat menjadi salah satu faktor dalam perilaku makan anak. Sebuah studi menunjukkan, anak-anak dengan ibu yang responsif pada waktu makan cenderung tidak makan secara emosional.

Beberapa penyebab emotional eating pada anak, antara lain:

-Masalah rumah tangga

-Kebosanan

-Pola asuh terlalu menekan

-Kesepian

-Pembatasan makanan berlebihan

Makan lebih banyak dari biasanya, salah satu tanda emotional eating. | Shutterstock

Membedakan Lapar Emosional dan Lapar Fisik

Emotional eating sebetulnya hanya kesenangan sesaat, Bun. Setelah makanan habis, perasaan sedih atau marah belum tentu hilang. Yang ada justru, terutama pada anak remaja, mereka akan merasa lebih buruk karena menyadari telah makan melebihi batas.

Oleh karena itu, ajarkan pada anak-anak untuk memeriksa dan merasakan apakah jenis lapar yang mendorongnya sebelum makan.

Bunda juga sebaiknya memberi pengertian secara perlahan pada anak-anak tentang apa saja ciri-ciri emotional eating dan bagaimana membedakannya dengan physical eating.

Ciri-ciri physical eating:

-Rasa lapar datang secara bertahap dan dapat ditunda (tergantung kemampuan anak)

-Ada tanda-tanda lapar, seperti perut terasa kosong

-Rasa lapar dapat dipuaskan dengan sejumlah makanan

-Anak akan berhenti makan saat kenyang

-Tidak menimbuklkan perasaan bersalah setelah makan

Ciri-ciri emotional eating:

-Rasa lapar datang tiba-tiba, mendesak, sulit dikontrol. Misalnya, tiba-tiba tengah makam ingin makan pizza.

-Rasa lapar dapat menyebabkan keinginan tertentu, misalnya ingin es krim, cokelat, dll

-Rasa lapar dapat membuat porsi makan lebih banyak dari biasanya

-Muncul rasa bersalah setelah makan.

Baca juga: Waspadai Bahaya Obesitas pada Anak, Bun!

Mengatasi Emotional Eating

Untuk mengatasi emotional eating pada anak, yang pertama dilakukan adalah melatih pengendalian diri anak dengan membedakan ciri-ciri emotional eating dan physical eating tadi. Selain itu, orang tua bisa membantu dengan cara:

-Membantu menyalurkan emosi anak dari makanan kepada hal-hal yang lebih positif, seperti berolah raga, mendengar musik, membaca komik, menggambar, menelepon teman, dan sebagainya.

-Menanyakan perasaan anak dan hiburlah saat mereka merasa tidak nyaman,

-Sediakan camilan-camilan dan bekal yang sehat ketimbang memberi jajan. Misalnya, membuatkan si Kecil Pancake ala Jepang Homemade Lembut dan Tebal yang sudah pasti disukai anak.

-Cukupi waktu tidur anak dan batasi penggunaan gadget.

-Journaling untuk menyalurkan emosi. Ajak anak menuliskan bagaimana suasana hatinya, apa yang membuat mereka khawatir atau marah, apa saja keinginannya.

-Ajarkan anak untuk merasakan sinyal kenyang pada tubuh.

-Biasakan untuk menyediakan menu makanan sehat, misalnya aneka olahan sayuran segar, dan orang tua makan bersama anak.

 

Jika langkah-langkah tadi belum juga berhasil atau gangguan emosi/gangguan makan malah memburuk, pertimbangkan untuk mendapatkan bantuan dari ahlinya, seperti psikolog, atau ahli gizi yang dapat membantu anak mengidentifikasi pola makan dan memberi arahan yang tepat.

 

Sumber:

https://kidshealth.org/en/teens/emotional-eating.html#:~:text=Emotional%20eating%20is%20when%20people,cramming%20for%20a%20big%20test.

https://thenourishedchild.com/emotional-eating-in-kids/

 

Penulis Ratih Sukma Pertiwi
Editor Ratih Sukma Pertiwi