Love as powerful as your mother’s for you leaves its own mark to have been loved so deeply .. will give us some protection forever.
J.K. Rowling

Panggilan Sayang Anak, Bisa Jadi Awal Body Shaming

author
Isna Triyono
Jumat, 7 Desember 2018 | 12:00 WIB
SHUTTERSTOCK |

Saking gemasnya, banyak orang tua memberi label atau panggilan kesayangan pada anak-anak mereka sendiri. Mulai dari label yang terkait dengan fisik si anak seperti ‘si cibul’, ‘si gendut’, ‘si keling’, ‘si kurus’, ‘si keriting’ hingga label yang negatif seperti anak nakal, anak bandel, anak susah dibilangin.

Bagi orang tua atau orang dewasa di sekitarnya, memanggil anak dengan kata-kata yang lucu tadi adalah bentuk rasa sayang. Atau, sebagai ungkapan emosi sesaat ketika menyebutnya nakal, bandel, atau susah dibilangin.

Tetapi tahukah Bunda, ternyata labeling, terutama yang negatif, justru bisa berdampak kurang baik bagi anak kelak ketika ia sudah dewasa. Menurut Psikolog Tari Sandjojo, anak cenderung akan terus mempercayai label yang disematkan kepadanya.

“Misalnya, ‘Memang sih saya gendut, rambut saya keriting jadi enggak cantik, atau kulit saya memang hitam.’ Anak jadi learn helplessness. Jadi mau dipuji setinggi apapun, dia enggak percaya karena yang dia yakini dia jelek, gendut, hitam dan lain-lain,” jelas Tari.

Artinya tanpa disadari, orang-orang terdekat atau keluarga justru melakukan body shaming, ledekan atau perundungan sejak kecil terhadap anak. Padahal seharusnya keluarga berperan kuat membentuk konsep diri anak secara positif.

“Jadi kalau anak mengeluh dia pendek, gendut atau hitam, keluarga seharusnya memberi support. Misalnya, dengan memberitahu kelebihan anak. ‘Tapi suara kamu bagus, kamu pintar dalam pelajaran, atau kamu berprestasi di bidang olahraga.’ Beri dia reward bahwa banyak hal lain dari dirinya yang sangat membanggakan,” kata Tari.

Sehingga ketika anak dewasa dan ia mengalami body shaming, anak sudah memiliki konsep diri yang baik dan keterampilan untuk menghadapi ledekan tersebut.

“Kalau ada yang ngatain soal bentuk tubuhnya, dia tahu harus berbuat apa, bagaimana harus beraksi, tahu harus meminta bantuan ke support systemnya. Jika sejak kecil enggak punya keterampilan itu, maka ketika besar ia akan mudah jadi korban shaming,” tutur psikolog sekaligus Direktur Akademik Sekolah Cikal ini.

SHUTTERSTOCK |

Bagaimana jika anak terlanjur memiliki konsep diri yang negatif karena sejak kecil mendapat label negatif dari keluarga?

“Itu berat sekali. Jika pelakunya adalah orang terdekat, dia harus membentuk atau mencari support system yang lain. Dan dia harus terapi,” jelas Tari.

Nah, Bunda masih mau memanggil anak-anak dengan label yang negatif? Segera ubah kebiasaan tersebut. Meski masih kecil, anak punya perasaan, lo. Jadiiii…yuk #SudahiShaming!

 

Penulis Isna Triyono
Editor Ratih Sukma Pertiwi