Try to be a rainbow in someone else’s cloud.
Maya Angelou

4 Mitos Tentang Disiplin Anak

author
Hasto Prianggoro
Jumat, 15 Februari 2019 | 10:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

Betulkah disiplin keras bisa membuat anak jadi penurut? Belum tentu, karena disiplin keras ternyata juga memiliki kekurangan.

 

Cerita para ibu tentang sulitnya mengatur anak pasti sudah sering kita dengar. Tak heran bila salah satu pola asuh yang dipilih sebagian orangtua adalah menerapkan disiplin keras. Tak ada kata “tidak” dalam kamus orangtua tipe seperti ini. Pokoknya, anak harus patuh pada semua aturan dan perintah orangtua. Tak jarang, hukuman fisik diterapkan ketika anak “membandel.”

Pola asuh semacam ini sudah lama menjadi mitos. Tetapi benarkah cara pengasuhan semacam ini efektif membuat anak menjadi anak yang patuh? Mitos-mitos tentang didiplin mana lagi yang tidak tepat?

Baca juga: Tidur Siang Sangat Penting Bagi Anak, Begini Alasannya

Berikut 4 mitos tentang penerapan disiplin pada anak yang kurang tepat.

1. Disiplin keras = anak baik

Ada pendapat yang mengatakan bahwa kalau mau anak tidak neko-neko, asuhlah dia dengan disiplin keras ala militer. Tidak selalu benar, karena cara ini ternyata malah bisa membuat anak tidak mampu mengembangkan empati mereka. Penjelasan yang masuk akal dan bimbingan orangtua adalah cara paling manjur untuk mendorong anak agar berperilaku baik.

2. ”Ya” berarti gagal.

Tak selalu benar. Terkadang, ada saat-saat dimana ucapan “ya” dan “boleh” menjadi strategi yang masuk akal untuk menghindari konflik dengan anak. Orangtua boleh saja mengatakan “ya” tetapi harus disesuaikan dengan kondisinya. Jadi, kalimat yang lebih tepat adalah, “Ya, asalkan..” atau, “Boleh, tapi…” Orangtua harus menjelaskan, misalnya ketika anak meminta sesuatu, dengan penjelasan yang masuk akal.

| SHUTTERSTOCK

3. Teriakan akan membuat anak nurut.

Ternyata, bukan. Berteriak bukanlah cara terbaik agar anak mau mendengarkan dan mengikuti aturan yang diberikan orangtua. Cara paling tepat untuk mengubah perilaku anak adalah dengan bersikap tenang, tidak emosional, dan selalu menjalin kedekatan. Kemarahan dan frustrasi yang ditunjukkan orangtua hanya akan memberi anak feedback negaif tentang emosi. “Oh, jadi boleh ya teriak-teriak kalau marah..”

4. Jangan pernah bernegosiasi dengan anak.

Justru orangtua harus bisa berperan sebagai negosiator yang baik ketika menghadapi perilaku anak yang tidak diharapkan. Dengan begitu, anak akan tahu bahwa ada hal-hal yang boleh ia lakukan dengan kondisi tertentu.

 

Penulis Hasto Prianggoro
Editor Hasto Prianggoro