Keep your face always toward the sunshine, and shadows will fall behind you
Walt Whitman

Generasi Sandwich

author
Ken Terate
Sabtu, 20 April 2019 | 20:00 WIB
Suka duka generasi sandwich | Shutterstock

Minggu lalu ketika sedang mengurus surat rujukan untuk ayah di Puskesmas, saya melihat seorang ibu muda menggendong bayi, menggandeng balita dan menuntun ibunya yang sudah lansia dan sakit.

Duh, dengan melihat saja saya bisa merasakan kerepotannya. Si bayi dalam gendongan mungkin akan rewel dan si balita akan bosan, meminta ini itu, sementara ibu muda itu harus pontang-panting mengurus lansia yang lemah. 

Saya langsung bersimpati karena sebenarnya keadaan kami mirip; hanya saja saya beruntung karena punya asisten yang bisa menjaga anak-anak di rumah. Kalau tidak, bisa jadi saya berangkat ke Puskesmas berendengan dengan dua anak.

Saya jadi teringat artikel yang pernah baca di medsos tentang generasi sandwich. Saya dan ibu muda itu adalah wakil generasi sandwich; generasi yang ‘terhimpit’ antara anak-anak dan orang tua lanjut usia yang sama-sama butuh support dari kami. Percayalah, ini bukan posisi mudah.

Rasanya setiap hal –bahkan yang kecil—menjadi lebih rumit dan butuh perencanaan matang.  Mau pergi sebentar aja harus memastikan anak-anak dan ortu lansia akan baik-baik saja.

Baca juga: Menjadi Orang Tua Ideal, Antara Impian dan Kenyataan

Memang, biasanya generasi ‘tengah’ ini pontang-panting karena anak-anak belum mandiri sementara orang tua mulai rapuh dan butuh banyak pengobatan. Ayah saya misalnya pernah menderita katarak di kedua mata dan harus menjalani operasi. Ribetnya, lututnya kena radang sendi yang membuatnya susah berjalan. Berangkat ke rumah sakit seperti mau kemping dengan segala macam persiapan. Padahal prosedur operasi mengharuskan kami bolak-balik ke RS. Untung saja saya punya suami, saudara dan ipar yang bisa bekerja sama.

Akhir-akhir ini radang sendi ayah memburuk hingga ia lebih banyak berdiam di kamar. Konsekuensinya, makanan, obat, hingga bacaan semua harus kami pastikan ada di kamar.

Untuk membunuh bosan, saya sampai membelikannya puzzle 500 keping. Kalau saya, suami dan anak-anak pergi keluar kota, kami harus jauh-jauh hari memastikan ada asisten atau saudara yang menginap untuk menemaninya.

Shutterstock |

Menu makanan harian pun bisa sangat menantang. Tiap hari saya harus memutar otak untuk menyediakan menu bagi ‘tiga generasi’. Anak-anak suka berkuah bening dan ayam goreng. Sementara si kakek sudah terlalu banyak pantangan (tak bisa mengasup sayuran hijau dan makanan pedas, manis, atau asam).

Repotnya saya dan suami paling suka masakan pedas. Kalau nggak pedes rasanya kayak nggak makan. Bukan hal aneh lagi bila dalam satu kali makan tersaji tiga menu; sop brokoli untuk anak-anak, terong balado untuk ayah-ibu, dan tumis labu siam untuk kakek.

Baca juga: Menjadi Seperti Ibu

Generasi tengah ini juga benar-benar harus bisa jadi penengah. Kadang ada saja keributan yang terpancing karena gap generasi. Para cucu lagi senang-senangnya main sambil teriak, tapi kakek butuh ketenangan. Anak-anak pengin nonton kartun, tapi nenek pengin nonton sinetron. Ayah ibu ingin menerapkan hidup sehat, kakek nenek hobi ngasih permen ke cucu saking sayangnya mereka ke cucu--. Konflik mudah sekali muncul. Kita bahkan belum membahasa soal keuangan nih.

Setelah merasakan betapa tak mudahnya jadi generasi tengah, kini saya mengerti mengapa ada kakek-kakek yang meski jalannya tertatih dan gemetar, tetap mengambil uang pensiunnya sendiri. Mengapa ada nenek-nenek sepuh yang pergi ke dokter diantar tetangga alih-alih anaknya. Mengapa sepasang suami istri tak pulang kampung saat Lebaran meski sangat ingin sungkem pada orang tua mereka.

Ini bukan perkara berbakti atau tidak. Keadaan kadang membuat orang-orang muda ini berada dalam posisi serba sulit. Bersyukurlah mereka yang bisa menjalankan peran ini dengan baik. Bagaimana pun sungguh beruntung masih memiliki orang tua saat kita sendiri sudah menjadi orang tua. Ada pemahaman dan pengertian baru yang terbangun. Apalagi keakraban antara kakek/nenek dan cucu sungguh menyejukkan mata.

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi