If you have never been hated by your child, you have never been a parent.
Bette Davis

When You Take Something for Granted

author
Ken Terate
Sabtu, 20 Juli 2019 | 20:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

Kurang lebih setahun lalu saya dan keluarga ikut piknik yang diadakan oleh warga RT tempat kami tinggal. Dengan bus besar kami bergembira menuju pantai-pantai Gunung Kidul, Yogyakarta. Jalannya mendaki dan bekelok-kelok, menyebabkan beberapa penumpang mabuk kendaraan. Saya dan suami syukurlah santai-santai saja, sementara dua anak saya… tidur dengan pulasnya.

Mendadak saya bersyukur keluarga saya tidak pernah mabuk kendaraan, mau naik bus tanpa AC, kereta api ber-AC, atau perahu kami tak pernah mengalami keluhan yang berarti. Saya bahkan bisa membaca dalam kendaraan yang berjalan.

Awalnya saya tak merasa itu istimewa. Tapi saat bermobil bersama seorang teman, dia berkomentar, “Kamu kok bisa sih membaca di dalam mobil?”

“Lah memang kamu nggak bisa?”

“Nggak, kepalaku langsung pusing.”

Ha? Saya tak pernah menyadari bahwa ada orang-orang yang tidak bisa membaca dalam kendaraan berjalan. Saat saya menuliskan ‘penemuan’ tersebut di Facebook, saya lebih kaget lagi karena ada yang berkomentar ia bahkan tak bisa melihat handphone di kendaraan. Ada yang selama bertahun-tahun mabuk bila naik bus kota (tapi terpaksa tetap naik karena tak punya pilihan lain), ada yang tak kuat diterpa AC dan sebagainya. Ah, ya, saya sendiri kenal beberapa orang yang hanya naik mobil bila terpaksa. Perjalanan jauh pun dijabani naik motor karena naik mobil membuatnya muntah meski baru semenit dua menit. Segala cara sudah dicoba mulai dari minum obat anti mabuk sampai makan jeruk, tetapi tak ada yang efektif.

Baca juga: Self-Care Itu Penting

Dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak hal-hal yang saya anggap biasa karena saya mendapatkannya begitu saja. I take them for granted. Saya baru mensyukurinya saat menyadari ternyata tidak semua orang mendapatkan hal-hal yang saya anggap biasa tadi.

Saya bisa menyusui kedua anak saya dengan lancar tanpa kendala berarti. Tapi, apa istimewanya? Gampang kok. Semua perempuan yang habis melahirkan pasti bisa menyusui. Kalau nggak bisa, pasti bisa diusahakan. Eh, benarkah begitu? Tidak juga ternyata. Ada ibu yang sudah berjuang mati-matian memberikan ASI, tapi tetap gagal.

Tidak punya alergi kadang-kadang juga saya anggap biasa saja. Setelah melihat ada teman yang badannya bentol-bentol tiap habis makan telur, saya baru tahu tidak memiliki alergi adalah anugerah yang luar biasa. Ya ampun telur itu kan pilihan lauk yang enak dan gampang.

Wah, saya yakin, daftar, ‘anugerah istiemewa, tapi kita anggap biasa’ ini sangat panjang; bisa makan cokelat; bisa hujan-hujanan, bisa melihat sinar lampu kelap-kelip (saya punya teman yang karena pernah menderita tumor otak dan tiap kali melihat cahaya berkedip-kedip langsung pusing. Lampu disko? Bisa membuat dia pingsan!), bisa naik pesawat, bisa pakai toilet duduk maupun jongkok, dan entah apalagi.

Itu baru sebagian. Seperti yang saya tulis di atas, biasanya kita baru menyadari nikmat itu setelah a) membandingkan dengan orang lain atau b) nikmat itu pergi. Saya baru menyadari enaknya mata normal setelah terpaksa pakai kacamata minus. Saya baru menyadari enaknya bisa tidur gampang setelah sempat menderita insomnia.  

Tetapi kehilangan itu jugalah yang membuat saya bisa mensyukuri hal-hal kecil yang tak pernah saya sadari sebelumnya. Itu membuat saya lebih menghargai hidup, lebih bahagia.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi