I think a lot about teaching my kids to work hard. I’ve learned something about kids ? they don’t do what you say; they do what you do.
Jennifer Lopez

Cerita Bersambung: Rahasia Nina (part 3)

author
Ken Terate
Selasa, 23 Juli 2019 | 19:00 WIB
Rahasia Nina | kanya.id

 

ASTAGA! Nina melirik jam weker di atas nakas. Ugh, Vino mestinya sudah datang dari tadi. Tapi, yang lebih meresahkan Nina adalah fakta bahwa ia lupa mengunci pintu! Kosnya memang merupakan kamar berderet yang pintunya menghadap ke halaman, tetapi jelas ada larangan bagi pria untuk masuk ke kamar –meski tentu saja banyak yang melanggarnya--. Nina sendiri baru akhir-akhir ini mengizinkan Vino datang ke kosnya. Sebelum itu ia memilih bertemu di mal atau restoran dengan kekasihnya itu. Dan jelas Nina tidak pernah mengizinkan Vino masuk kamar!

Nina merutuki dirinya yang tadi malam melembur pekerjaan hingga larut. Sialnya, ketika ia sudah menutup laptop dan membaringkan diri di kasur, matanya justru nyalang dan dadanya berdebar-debar. Saat akhirnya terlelap sebentar, mimpi buruk itu datang. Tangannya ditarik. Mulutnya dibekap. Lalu ia tenggelam dalam kegelapan. Bukan di laut. Bukan. Ia tak yakin tempat apa yang melingkupinya. Ia hanya tahu tempat itu gelap. Gelap. Begitu tersentak bangun, matanya sudah tak mau diajak terpejam lagi. Mestinya ia baru terlelap menjelang pagi. Nina sungguh tak mengerti mengapa kini mimpi buruk itu sering datang lagi.

“Sorry, Vin. Aku lembur semalam. Aku mandi dulu ya. Nggak pa-palah telat bentar. Nggak tiap hari ini. Kamu juga nggak pa-pa, kan telat dikit?”

“Aku sih santai. Kamu tahu itu.”

Ya, Nina tahu itu. Vino bekerja sebagai wartawan. Mereka bertemu saat cowok itu mewawacarainya terkait penelitian yang dilakukan oleh timnya dan setelah itu mereka mulai dekat. Dekat dalam versi Nina.

Dalam opini Vino,  Nina seperti membangun benteng tak tertembus. Untuk membentengi apa, Vino tak pernah tahu. Sebagai wartawan, Vino secara instingtif mulai menggali fakta, mulai dari bertanya tentang keluarga Nina, hingga mantan-mantannya. Tetapi ia tak menemukan apa-apa. Keluarga Nina baik-baik saja. Mereka tinggal di Kulonprogo yang kira-kira  90 menit jauhnya dari Jogja. Ayah ibunya bertani dan beternak. Sejak SMA, Nina tinggal bersama pakdhenya di Jogja. Pakdhe dan budhenya dianggap sebagai orangtua kedua oleh Nina. Mereka pun sangat sayang pada Nina.

Beberapa kali Vino mendapati Nina ditelepon oleh mereka hanya sekadar buat menanyakan apakah Nina sudah makan. Kalau saja anak laki-laki pakdhe tidak pulang kampung bersama istri dan anaknya, mungkin Nina masih tinggal di sana. Tetapi semenjak sepupunya itu pulang –pas Nina mulai kuliah--, gadis itu memilih kos di dekat kampus. 

Soal cowok, Nina dengan tegas mengatakan ia tak pernah pacaran sebelumnya. “Dekat dengan cowok iya, tetapi aku nggak pernah benar-benar pacaran. Kamu yang pertama,” tegasnya.

“Ayolah, Nin, nggak papa juga kalau kamu punya selusin mantan. Usia kita sudah lebih dari seperempat abad. Wajarlah punya kisah cinta satu dua. Aku nggak cemburu, kok. Aku punya tiga mantan dan kamu nggak cemburu, kan?” Mana mungkin Nina yang cantik, cerdas, baik itu nggak pernah punya pacar. Vino sulit mempercayainya. Tetapi Nina bersikukuh, jadi bisa saja itu benar. Apalagi mengingat Nina memang sulit didekati. Ia bersikap dingin dan menjaga jarak pada awalnya seolah Vino membawa penyakit yang tak kentara.

Kini Vino berlega hati. Kesabarannya dalam mendekati Nina mulai membuahkan hasil. Akhirnya cewek itu mengizinkannya datang ke kosnya. Dua minggu terakhir, ia bahkan mengizinkan Vino untuk  mengantar dan menjempitnya bekerja. Di awal pacaran Nina menolak mentah-mentah tawaran itu. Ia mengajukan berbagai macam alasan, mulai dari lebih suka mandiri sampai tak ingin merepotkan Vino sampai cowok itu akhirnya menyerah dalam ketidakmengertian.

Tiga kali menjalin hubungan dengan perempuan, Vino tak pernah sekali pun mendapati ceweknya menolak diantar jemput, dengan alasan yang payah pula. Tapi pagi ini Vino seperti terbanting lagi. Nina nyaris menyerangnya seolah-olah dia pencuri di siang boloh. Vino mengerti kekagetan cewek itu, tapi mestikah ia sehisteris itu?

“Sorry, Vin, aku tadi mimpi buruk,” Nina membela diri saat mereka sudah melaju di atas motor Vino. Kendaraan itu merayap menembus padatnya lalu lintas.

“Mimpi buruk apa?”

“Hm, nggak terlalu ingat juga. Tetapi rasanya menakutkan.”

“Sering kamu mimpi buruk?”

“Nggak juga, sih.”

“Beneran?”

“Bener.”

“Okelah. Kalau terlalu sering, kurasa kamu harus ke psikolog Nin.”

“Aku baik-baik saja. Wajar kan dapat mimpi buruk kadang-kadang.”

“Ya, aku juga kadang bermimpi buruk apalagi kalau sedang ada deadline. Yah, katakan sejujurnya padaku kalau kamu butuh bantuan. Biar aku bisa membantu.”

Nina terpaku. Jujur?

“Aku kan pacarmu. Jadi kamu tak perlu menyimpan rahasia apa pun dariku.”

Ha, kenapa semua orang berpikir bahwa hubungan antara dua orang tidak boleh menyimpan rahasia? Mengapa mereka berpikir bahwa semua akan lebih baik bila tidak ada yang tersembunyi?

“Oke, honey?” Vino menarik tangan Nina secara halus dan secara halus pula Nina menariknya kembali.

“Oke apa?”

"Bilang ya kalau ada apa-apa.”

“Kenapa kamu pikir ada apa-apa?”

“Sikapmu tadi pagi itu aneh banget, tau.”

Sorry. Tapi aku hanya mimpi buruk.”

“Oke,” Vino mengalah, “Nanti sore aku jemput. Kita makan bareng, terus kamu kuantar pulang dan langsung tidur setelahnya. Nggak ada nglembur-nglembur lagi. Deal?”

Nina mengangguk. Cowok itu kembali  menarik tangannya, meletakkannya di atas paha. Sejengah apa pun Nina karenanya, ia berusaha tak menolak. Ia tak ingin Vino curiga lebih jauh lagi.

***

“Diam kamu. Jangan bergerak. Jangan teriak.”

Tuhanku. Nina merasa jantungnya rontok seketika. Perasaan lemas yang tak asing merayap cepat, membuatnya kakinya lumpuh, pikirannya beku.

Monster itu menyergapnya di belakang gedung kantor. Di lorong kecil antara dua bangunan yang jarang dilewati orang dan berisi deretan mesin-mesin pembuang gas AC. Toh beberapa  orang sering memanfaatkannya sebagai jalan pintas ke kantin atau musholla, seperti Nina. Tetapi bagaimana monster itu bisa menangkapnya di sini? Apakah dia menguntitnya selama ini? Kenapa dia tak mau berhenti menggangguku? Nina nyaris menangis. Tapi tak bisa. Hidungnya terbekap. Ia tak bisa bernapas, apalagi menangis.

Saat setitik kesadarannya kembali, Nina berusaha keras memberontak. Tidak mudah karena monster itu begitu kuat. Ia menekan tubuhnya ke dinding. Tangan kirinya membekap mulut Nina dan tangan satunya menekan dada Nina kuat-kuat hingga gadis itu nyeri.

Tuhan, ini pasti mimpi buruk. Ayo bangun, ayo bangun. Tapi, kenapa ia bisa mencium aroma parfum? Kenapa is bisa merasakan lembapnya keringat di tangan yang membekapnya?

Nina menggeleng kuat-kuat. Di saat yang sama kaki dan tangannya berusaha menendang dan memukul, tetapi serangan itu seperti menghantam udara kosong. Monster itu bergeming.

“Diamlah, tenanglah, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu asal kamu mendengarkanku, nggak teriak, dan nggak kabur. Ngerti.”

Nina mengangguk pasrah. Air matanya menggenang. Ia tak punya pilihan. Sedetik kemudian tubuhnya bebas, tetapi kakinya tetap lemas. Ia pasti ambruk ke lantai kalau saja punggungnya tak tertopang tembok dan tangannya tak berpegangan pada kolom tiang.

“Maaf aku terpaksa datang kayak gini. Tetapi kamu nggak pernah mau bertemu denganmu. Kamu nggak menjawab pesanku.”

“Urusan kita sudah selesai, Jer.” Mulut Nina terasa kering.

“Belum. Aku harus memastikan satu hal. Kamu nggak akan pernah mengungkit-ungkit hubungan kita pada Lilian.”

“Hubungan apa? Kita nggak punya hubungan.”

“Ayolah. Kau pernah merayuku.”

“Jangan membuat-buat cerita!” Nina ingin meludahi wajah laki-laki itu. Tubuhnya menegak kembali.

Dua orang berjalan melewati lorong, tampaknya baru saja selesai salat di musholla. Salah satunya mengangguk pada Nina. Nina membalasnya dengan anggukan kecil. Di mata mereka berdua, pastilah Nina dan Jerry tampak seperti kolega yang kebetulan berpapasan dan saling bertukar kabar.

“Rileks, Nin. Yah, itu cuma keisengan remaja. Aku paham kok. Kamu nggak punya niat buruk. Kamu hanya sedikit… hmm... kelewatan. Maafkan dirimu sendiri, oke. Kamu sama sekali tak bersalah. Kamu tak perlu mengakuinya pada Lilian. Seperti yang kubilang, kita semua pernah muda dan pernah konyol, termasuk naksir kakak kelas dan agak… berlebihan.”

Nina benar-benar jijik sekarang. Tangannya tergenggam, siap menampar makhluk senilai kotoran di depannya.

“Lupakan! Oke? Lihat aku. Aku sudah mapan sekarang. Mungkin aku dulu pernah hmmm… nakal. Semua cowok mencuri mangga kadang-kadang. Tetapi aku sekarang baik. Sumpah.” Laki-laki itu menegakkan tubuh. Kedua tangannya masuk saku. Nina baru menyadari Jerry memakai kemeja dan celana berkelas. Semua yang ia kenakan terlihat mahal, apalagi jam tangan dan sepatunya. Aneh sekali, karena tiba-tiba Nina ingat cincin Lilian dari Jerry yang kelewat sederhana.

“Oke.” Nina menjawab lemah, kemudian cepat-cepat melangkah, secepat yang bisa dilakukan kaki lemasnya, tetapi lagi-lagi pergelangan tangannya dicekal. Jerry segera melepaskan cekalan itu saat dua mahasiswi lewat sambil cekikikan. Laki-laki tersenyum pada mereka, seolah sungkan ketahuan mengajak salah seorang asisten dosen berkencan.

“Ini demi Lilian. Kamu tentu nggak mau sahabatmu itu terluka, kan? Ingat, Lilian itu sudah banyak menolong kamu.”

Mentraktir makan kadang-kadang, memberi tebengan, dan meminjaminya buku-buku. Ya, Lilian melakukan itu. Tetapi Nina membantunya mengerjakan makalah, mencarikannya pasien untuk tugas penelitian, dan menampung berkubik-kubik curhatannya tentang ayahnya yang begini, cowok-cowoknya yang begitu, teman-temannya yang begono. Spoilt! Anak manja. Terlahir dengan sendok perak di mulut, Lilian tak tahan banting. Tak kuat merasakan susah. Dia bisa lulus dari Kedokteran tentu saja karena para dosen segan pada bapak ibu Lilian yang dua-duanya dokter terpandang. Ayahnya bahkan punya jabatan di universitas. Tidak, Lilian tidak bodoh. Ia cerdas. Tetapi ia tak mau susah. Tak bisa tepatnya.

Dalam tugas kelompok, ia selalu meminta tugas yang paling ringan. Saat menjalani co-ass, dengan merengek-rengek pada ayahnya, ia menghindari rumah sakit-rumah sakit terpencil. Tak heran, Lilian selalu membutuhkan teman-teman seperti Nina, yang cerdas, tak banyak tingkah, dan bisa dimanipulasi dengan sedikit imbalan. Nina bukannya tak menyadari itu, tetapi mereka sahabat. Dan bila kemalasan Lilian dicabut, ia sepenuhnya teman yang menyenangkan.

Mungkin demi kebaikan Lilian, ia justru harus tahu.

“Ingat, sebenarnya ini soal nama baikmu. Apa kata pacarmu kalau dia tahu betapa nakalnya kamu dulu. Haha, siapa menyangka perempuan lugu sepertimu bisa bertingkah kayak pelacur.”

Plak! Tangan Nina melayang menampar pipi Jerry tanpa bisa ia cegah.

“Cukup. Dasar anjing najis!”

Jerry geragapan sejenak, lalu tertawa, “Haha, aku suka gayamu. Kamu masih menggemaskan seperti dulu. Andai saja kamu tidak lari dariku, mungkin kita masih bisa asyik-asyik aja, bertiga. Atau berempat. Kau suka ide itu?”

Nina ingin muntah. Bibirnya gemetar. “Pergi. Jangan… kembali… lagi. Selamanya.”

“Nin, tak akan ada yang percaya pada ceritamu. Kamu yang datang padaku.”

Kini air mata menderas di pipi Nina.

“Dan luka itu… gara-gara jatuh dari sepeda, kan?”

 

 

BERSAMBUNG|

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi