When I come home, my daughter will run to the door and give me a big hug, and everything that’s happened that day just melts away.
Hugh Jackman

JEDA

author
Ken Terate
Sabtu, 27 Juli 2019 | 10:00 WIB
| kanya.id

Setiap Selasa Wage ruas jalan Malioboro di kota saya, Yogyakarta, bersih dari lapak kaki lima. Semua pedagang kaki lima sepakat untuk meliburkan diri). Alih-alih berjualan, pada hari libur setiap selapan (tiga puluh lima hari) itu, mereka bersih-bersih. Hal ini sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.

Di luar dugaan, tak hanya tempat bersih yang didapatkan. Masyarakat terpana atas kosongnya trotoar yang biasanya disesaki oleh berbagai macam dagangan. Keindahan bangunan-bangunan lawas yang biasanya tertutupi tersibak. Kelonggaran membuat gerak lebih bebas, napas lebih lega.

Ruang itu segera dimanfaatkan untuk main sepatu roda, jalan-jalan bareng, atau sekadar selfie. Akhir-akhir ini, Selasa Wage ditingkatkan menjadi hari bebas kendaraan bermotor. Salah satu efek dahsyatnya? Flashmob beksan (tari) Wanara masal di jalan Malioboro langsung viral dan membangkitkan kembali kecintaan pada budaya daerah.  Kini Selasa Wage menyuguhkan segala macam kegiatan unik yang muncul dari kreativitas warga, mulai dari dolanan anak hingga diskusi film.

Asal mula dari ledakan kreativitas itu? Jeda.

Ya, sebesar itu faedah jeda. Lihat apa yang terjadi sebulan sekali ketika jalan Jl. Sudirman-MH. Thamrin dibebaskan dari kendaraan bermotor pada Car-Free Day. Orang-orang beramai-ramai senam, lari, nyanyi, atau piknik bersama keluarga. Manusia Jakarta terhubung nyaris tanpa sekat seperti hari biasa saat mereka terkotak-kotak dalam mobil.

Saat dihantam rutinitas yang sama dari hari ke hari, tanpa sadar kita terjebak dan tercetak seperti robot. Kita seperti bergerak dengan mode ‘auto-pilot’, tanpa kesadaran. Saat keletihan mental menyeruak dan membuat kita drop. Liburan mungkin menjadi jawabannya. Namun, kadang pada hari libur pun kita terjebak pada kegiatan yang itu-itu lagi; ke mal lagi, ke mal lagi; nyuci lagi nyuci lagi.

Saya pikir jeda seharusnya membuat kita ‘kosong’, seperti ‘kosong’nya jalanan  saat car free day. Setelah itu, barulah kita bisa terisi oleh hal-hal baru, yang mungkin belum pernah kita pikirkan sama sekali.

Libur memang bisa menjadi jeda yang baik. Namun jeda juga bisa kita sisipkan tanpa perlu berlibur. Kalau tiap hari kita ke tempat kerja naik mobil sendiri, coba ambil jeda dan nebeng mobil teman, atau naik bus, atau naik sepeda. Kalau biasanya kita lewat jalan A, coba lewat jalan B.

Saat nebeng teman, bisa jadi kita mendengar cerita si teman yang menginspirasi. Saat kita lewat jalan berbeda, bisa jadi kita melihat bunga cantik yang tak pernah kita lihat sebelumnya. Ide-ide dapat berkembang dari sana.

Atau kita bisa benar-benar berhenti melakukan sesuatu yang bertahun-tahun kita lakukan Kalau biasanya kita nyemil sewaktu-waktu, cobalah berpuasa. Kalau biasanya kita ngecek gawai lima menit sekali, jauhi hape sehari. Kalau biasanya nyandu belanja, coba deh tantang diri sendiri buat sehari aja nggak ngeluarin duit.

Haha, buat apa coba? Entahlah, tapi setiap kali mengambil jeda, ada sudut pandang baru yang saya dapatkan; pikiran yang lebih hening, ide yang lebih segar, atau malah terbuangnya pikiran-pikiran nggak penting.

Hm, saya rasa itulah kenapa dalam semua agama ada ajaran untuk berpuasa, apa pun bentuknya. Ada pula ajaran untuk hening, entah dalam bentuk salat atau meditasi.

Dengan cara apa dan sesering apa, kita semua membutuhkan jeda, meski untuk sekadar menghilangkan penat atau… untuk mengizinkan hal-hal baik datang.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi