If you have never been hated by your child, you have never been a parent.
Bette Davis

Cerita Bersambung: Rahasia Nina (part 5)

author
Ken Terate
Kamis, 8 Agustus 2019 | 18:00 WIB
Rahasia Nina | SHUTTERSTOCK

Tangan itu mencengkeram lehernya. “Aku tak akan menyakitimu. Aku janji. Aku tahu kamu juga menginginkan ini. Iya, kan?”

Tidak. Ia tidak menginginkan ini.

“Kamu datang ke sini.”

Nina tak mampu berkata-kata. Seluruh badannya gemetar hebat.

“Kamu membalas ciumanku.”

Ciuman itu berbeda. Awalnya mereka memang mengisi aplikasi, tetapi lalu berlanjut dengan obrolan, lalu rayuan. Nina tak pernah merasa setersanjung itu. Sore itu, secara mendadak ia percaya bahwa ia gadis paling cantik sejagat raya. Jerry membuatnya merasa begitu.

Ketika Jerry mendaratkan ciumannya, awalnya di pipi, Nina tak menolak. Itu ciuman pertamanya dan dengan cepat berekskalasi. Jerry, Nina tak heran, sudah sangat ahli. Kecupan itu lalu merambat ke leher, ke bibir. Nina membeku. Ia tak membalas. Namun memang tak menolak. Ada sensasi aneh yang menjalar di seluruh tubuhnya. Sensasi yang sudah lama membuatnya penasaran. Teman-teman ceweknya sering cekikikan membicarakan ini; frech kisses, necking.

Tetapi ia jelas tak ingin Jerry menyentuhnya lebih dari itu.

“Nin, aku janji kamu akan dapat beasiswa itu. Kalau kamu menolak ini, yah, aku bisa pastikan kamu tak akan mendapatkannya.”

Nina ternganga. Beasiswa itu adalah hidupnya. Ia tak bakal bisa kuliah tanpa beasiswa, apalagi di kedokteran! Kadang ada hari-hari setelahnya, Nina berpikir apakah semua itu sepadan. Tentu saja setelah itu Nina sadar ancaman Jerry hanyalah omong kosong. Ia manipulatif. Ia diterima di kedokteran karena kompetensinya semata. Tetapi sore itu pikirannya tak berfungsi. Di kamar terkunci, dengan tangan Jerry melingkari lehernya, ia hanya bisa menangis dan menangis.

“Don’t cry honey. Kamu cantik sekali. Kamu tinggal mengikuti dan ini tidak akan menyakitkan. Kamu bahkan akan menyukainya.”

Tidak! Ia tak menyukainya. Ia ingin lari, tapi otaknya beku, kakinya lumpuh.

***

Berapa lama itu berlangsung? Lima menit? Sepuluh menit? Terasa berabad-abad bagi Nina. Ia berupaya mengumpulkan pakaiannya secepat mungkin, tetapi anggota badannya tak bisa diajak bekerja sama. Tangannya gemetar, kakinya selemas ubur-ubur.  Ia mengenakan pakaiannya asal-asalkan. Ia bahkan tak sempat mengenakan pakaian dalam.

“Kamu mau ke mana? Kita belum selesai. Ayolah.” Jerry menjangkau tangannya. Dan betapa jijiknya Nina melihat tubuh telanjang cowok itu. Ada apa dengan orang-orang yang membicarakan ketelanjangan dengan gairah menggebu-gebu?

“TIDAK!” Nina berteriak. “Jangan sentuh aku! Kau tak takut ayahmu pulang, hah!” Sudah malam. Nina bisa mendengar azan isya berkumandang.

“Haha, mereka sedang di luar negeri.”                

“Bajingan kamu!”

Nina menyentak lepas lengannya. Berhasil. Tetapi bruk! Ia akhirnya tersungkur, dahinya terantuk pinggiran meja. Berdarah, tetapi saat itu ia tak peduli. Tak merasa. Secepat kilat ia bangkit, meraih semacam kamus tebal yang ada di meja dan memukulkannya ke kepala Jerry. Lelaki itu terhuyung ke belakang. Dan tanpa berpikir lagi, Nina menendang selangkangannya! Keras dan mematikan!

Jerry meraung hebat, tetapi itu memberi waktu bagi Nina untuk membuka pintu. Meraup ranselnya –syukurlah semua berkas sudah ia kemasi tadi--, membuka kunci dan lari ke luar. Butuh waktu lama baginya untuk membuka pagar dan menstarter motor, tapi Jerry tak mengejar. Mungkin minatnya sudah lenyap, berganti kemarahan.

***

“Dia masih muncul di sekolah setelah itu. Masih melatih paskibra untuk adik-adik kelas. Aku muak padanya. Entah berapa orang yang jadi korbannya? Sintingnya, ia berusaha merayuku lagi. Bangsat banget, kan? Karena aku nggak terbujuk, dia menakut-nakuti dan mengancam. Dia bilang, aku akan gagal mendapat beasiswa. Ia akan menceritakan pada semua orang. Aku berusaha menghindarinya. Aku pulang cepat dari sekolah. Aku tak mau lewat depan rumahnya. Itu konyol, tetapi bagiku itu langkah masuk akal.”

“Bisa dimengerti,” sahut Renata.

“Yang kupikirkan saat itu adalah, terkutuklah aku bila tidak diterima di kedokteran. Aku bakal menyangka itu… salahku.”

“Tetapi kamu diterima.”

Nina mengangguk. “Aku menghindari acara reuni.”

“Aku mengerti.”

“Aku jijik pada laki-laki. Aku benci disentuh.”

“Wajar.”

“Dia masih menghubungiku ketika aku kuliah. Dia bilang seharusnya aku berterima kasih padanya.”

Renata mengangguk kecil.

Keheningan melanda. Nina mengambil cangkir teh yang terhidang di meja, meneguk isinya pelan-pelan.

“Jerry bertemu kembali dengan Lilian saat reuni,” Nina mendesah. “Dan aku tak menyangka dia berani… berani memacari Lilian. Sahabatku.”

“Kata orang cinta itu buta.”

“Tidak. Dia tidak mencintai Lilian. Dia tidak mencintai siapa pun. Dia hanya mencintai dirinya sendiri. Lilian dokter. Ayahnya pemilik klinik terkenal dan seterusnya Lilian yang akan mewarisinya. Sementara, Jerry? Aku nggak tahu apa pekerjaannya, tetapi dia bukan siapa-siapa.”

“Kau tak percaya dia sudah berubah?” Renata bertanya halus.

Nina menggeleng, “Dia datang lagi, mengancam lagi, membuatku… seperti ini.”

“Dan kini kamu bingung apakah kau harus menyimpan rahasia ini atau membukanya.”

Nina mengangguk. “Rahasia ini akan menyakiti semuanya. Termasuk aku. Aku mungkin akan kehilangan… Vino.”

Psikolog itu, seperti yang sudah diduga oleh Nina, menyerahkan keputusannya pada Nina. Nina menarik napas panjang. Ia sudah memikirkannya berkali-kali. Ia memikirkan Vino, memikirkan Lilian, lalu memikirkan ancaman Jerry.

“Kurasa…” Nina menggigit bibir, “Ada rahasia yang sebaiknya tetap menjadi rahasia.”

***

Bulan di kalender sudah berganti. Juli. Agustus. September membawa hujan dan udara lembap yang membuat kulit Nina gatal-gatal.

Nina menyelesaikan terapinya lebih cepat. Hanya empat kali pertemuan dari enam yang dijadwalkan. Pada pertemuan keempat, Nina merasa tak ada yang ia perlu ia bicarakan lagi. Toh selama ini ia tahu apa masalahnya. Ia hanya butuh sedikit mengurai. Itu saja.

Vino bertanya soal terapinya, memancing-mancing sebenarnya apa masalah Nina. Tetapi Nina hanya menjawab dengan standar, “Baik-baik saja. Yah, hanya masalah biasa. Bukan masalah lagi sekarang.”

Aplikasi beasiswa S2-nya sudah disetujui dan tiga bulan lagi Nina akan berangkat ke Sydney. Hidup baru. Vino menawarkan untuk menikah, atau setidaknya bertunangan, sebelum Nina berangkat, tetapi Nina sama sekali tidak berminat, “I love you, Vin.” (Nina yakin tentang itu), “Tetapi aku sama sekali tidak berpikir tentang pernikahan.” Dan seks masih membuatnya takut. Ia tak menolak lagi ciuman Vino. Ia bahkan sudah membiarkan laki-laki itu mendekapnya lebih erat, merabanya di bagian-bagian tertutup, tetapi ia masih belum menemukan dirinya menginginkan itu. Ia harus mendorong dirinya untuk membalas ciuman Vino, berpura-pura menikmatinya. Dengan frustrasi ia menyuruh otak dan tubuhnya merespon sentuhan Vino. Tetapi tidak ada apa-apa. Setidaknya, aku tidak menolak, putus Nina.  Itu kemajuan.

“Nggak, kamu tidak mencintaiku.” Ada nada putus asa di sana.

“Vin, please. Mungkin aku hanya sibuk dengan pekerjaan dan rencana kuliahku. Mungkin kalau sudah mapan kita bisa membicarakan ini lagi.”

“Bukan itu maksudku. Kamu nggak pernah menginginkanku. Selalu aku yang menginginkan kamu.”

“Kau bicara apa?”

“Coba cium aku. Coba.”

Nina melotot.

“Coba!”

“Ini bukan tempat yang layak. Ada banyak orang dan…”

“Dan mereka nggak peduli. Banyak orang berciuman di restoiran. Nggak masalah.” Mereka menempati bilik setengah tertutup di restoran Jepang. Vino benar, andai pun ada yang melihat, mereka tak bakal diusir atau apa.

Nina memajukan tubuhnya, mencium bibir Vino. Ia mencoba bertahan sebisanya. Mendesah kecil, berharap Vino percaya ia menikmatinya. Vino membalasnya lembut, “Lain kali bisakah kau melakukannya tanpa kuminta?”

“Vin, aku dibesarkan sebagai anak desa dengan nilai-nilai kuno. Lagipula kau pacar pertamaku. Aku minta maaf.” Nina menunduk, menekuri mangkuk ramen di depannya.

“Aku tidak memintamu menari telanjang di depanku. Aku hanya ingin ciuman kecil. Aku ingin kau bersandar padaku.  Aku hanya ingin merasa berguna dan diinginkan.”

“Tapi kamu memang berguna dan diinginkan!”

“Tidak oleh kekasihku sendiri. Tidak cukup besar.”

“Vin…”

“Aku masih bersabar, Nin. Aku masih berharap aku bisa memenangkan hatimu.”

I am sorry, Vin. Kamu boleh… berhenti… bila sudah lelah. Mungkin aku memang bukan perempuan yang pantas untukmu.”

“Dengan kata lain kau memang tak mencintaiku.” Mata laki-laki itu berkaca-kaca.

***

Mereka bertengkar. Akhir-akhir ini Nina dan Vino makin sering bertengkar. Tetapi yang terakhir sungguh membuat remuk redam. Nina tak ingat alasan mereka bertengkar, tetapi tak jauh-jauh dari Nina yang tak berminat pada hubungan mereka. Bagaimana Vino mengambil kesimpulan itu, Nina tak habis pikir. Ia sudah berusaha habis-habisan untuk bertingkah seperti perempuan yang menghasrati laki-laki. Yang membuatnya muak pada diri sendiri. Dan itu pun rupanya masih kurang. Tidak, Vino bukan laki-laki kurang ajar (Nina tahu bagaimana laki-laki kurang ajar itu). Vino hanya merasa Nina tak mencintainya sebesar seharusnya, sebesar Vino memuja dirinya.

Yang aneh sekali karena kini setelah Vino nyaris pergi, Nina baru mengerti ia mencintai laki-laki itu dengan intensitas lebih besar daripada yang ia sangka. Vino sudah menjadi dunia sendiri bagi Nina.

You’ve hurt me, Nin. Biarkan aku menyepi. Aku butuh berpikir. Tak perlu hubungi aku. Aku akan menghubungimu bila sudah saatnya. Don’t worry, aku gentleman. Aku tak akan membiarkanmu terkatung-katung. Kita masih bersama. Setidaknya saat ini. Esok? Aku tak tahu.”

Pesan itu membuat Nina kalap. Vino benar-benar mengabaikan teleponnya, tak menjawab pesan-pesannya. Apakah ia harus datang ke kantor Vino? Sebagai wartawan Vino lebih sering berada di lapangan daripada di kantor dan Nina punya firasat ia tidak akan bertemu cowok itu di kantor, lalu bakal patah hati karena menyanngka Vino sengaja menghindarinya.

Datang ke kosnya? Sama saja. Mungkin sekarang Vino malah sedang mudik ke Solo, ke rumah orang tuanya. Atau sedang liputan di luar kota. Luar negeri. Mana saja.

Frustrasi menyeruak. Nina tak pernah tahu ketidaktahuan bisa demikian menyiksa. Berdebat itu seperti maju perang, tetapi diabaikan itu seperti tersesat di hutan lebat, gelap, dan penuh ilusi. Membuat gila.

Aku akan kehilangan dia. Nina bisa merasakan itu, seperti merasakan butiran pasir yang menyelinap jatuh dari sela-sela jarinya, sekuat apa pun Nina berusaha menggenggamnya.

Aku memang pantas kehilangan dia. Aku pantas kehilangan apa pun.

***

“Jadi kalian putus?” Lilian menatap Nina tak percaya. “Tapi kenapa?”

Nina mengangkat bahu, “Nggak cocok. Memang nggak berjodoh.”

“Tak cocok apanya?” Lilian menyentak kain satin yang barusan dipegangnya, sementara Nina bertanya-tanya mengapa ia masih berkubang di toko tekstil ini dan memilih-milih dress untuk bridesmaid untuk acara pernikahan yang membuatnya mual? Lagipula ide bridesmaid itu sangat konyol. Untuk apa harus ada perempuan-perempuan yang sengaja dibuat lebih buruk daripada si pengantin hanya demi mendapatkan efek bahwa si pengantin jelas perempuan paling istimewa?

 

BERSAMBUNG|

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi