To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Bags, The New Jewelry

author
Ken Terate
Sabtu, 23 November 2019 | 15:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

Dulu, perempuan bangga bila mengenakan perhiasan logam mulia. Gelang atau kalung besar meneriakkan kesuksesan. Perempuan milenial sepertinya punya simbol yang berbeda: tas!

Tas seolah tak bisa dipisahkan dari perempuan. Mau jalan ke minimarket sebelah saja, tas mesti dicangking. Saya sendiri heran, bagaimana laki-laki bisa melenggang tanpa benda yang sungguh berfaedah ini.

Tapi kalau ngomongin tas cantik bin mahal, tentu tidak sekadar faedah yang kita bicarakan. Saya tidak tahu persis keajaiban apa yang dimiliki oleh tas-tas semacam itu karena kalau dilihat fungsiny, sama aja dengan tas-tas murah yang dijual di pinggir jalan. Namun, pesonanya memang susah ditampik. Begitu lihat, penginnya mendekap.

Saya sering mengklik iklan tas yang kadang beredar di timeline medsos. Dan tahu, kan gimana algoritma medsos bekerja. Sekali Anda mengklik iklan, maka iklan produk-produk serupa bakal membanjir. Jadilah iklan tas bersliweran tiap kali saya buka medsos. Mata saya seolah dimanjakan oleh gambar-gambar tas cantik. Nggak papalah cuma bisa lihat tanpa bisa memiliki. Loh, kenapa nggak bisa memiliki? Karena tas-tas cantik itu mahal! Pakai banget. Nggak semahal tas-tas branded eksklusif yang harganya setara dua motor (dan jelas iklannya nggak nongol di FB atau IG), tapi bagi saya yang beli sofa aja masih berjuang, rasanya sayang banget mengeluarkan uang segitu buat tas. Apalagi tas-tas yang saya miliki masih berfungsi dengan baik.

Baca juga: Pelengkap Mix n Match 2019, 8 Tas Ini Bisa Jadi Inspirasi

Apakah saya nggak pengin beli tas baru? Ya penginlah. Saya tidak bekerja di luar rumah, hanya sekali-kali kondangan dan meet up dengan teman-teman. Tapi meski jarang, saya bakal senang juga gonta-ganti tas tiap keluar rumah (meski serius deh, sering ganti tas itu ribet karena mesti bolak-balik mengeluarkan dan memasukkan ‘perangkat lenong’. Itu pun kadang ada yang ketinggalan. “Mana bedak? Oh, di tas satunya.)

Anyway, saya jadi mengerti mengapa SEMUA iklan tas itu dibanjiri ribuan komentar dari perempuan. Tas-tas yang hit, jangan tanya, jumlah pengikutnya bisa sampai jutaan.

Cerita-cerita persaingan mendapatkan tas idaman yang melibatkan penantian berbulan-bulan, mantengin internet berjam-jam, sampai perancangan strategi rumit bukan isapan jempol. Itu semua demi sebuah tas yang bisa didapatkan dengan mudah bila kita masuk toko dan bawa uang… asal kita nggak pilih-pilih dan punya obsesi khusus pada sebuah merek.

Tentu saja banyak perempuan milineal yang pilih-pilih. Kenapa? Tas ekslusif dengan mutu tinggi dan ketahuan mahal memberi prestis tersendiri. Nggak masalah mereka nyicil atau malah berutang demi mendapatkannya. Ini sih nggak nggak banget buat saya. Nyicil rumah atau mobil bisa diterima, tapi nyicil  tas? Tidak. Tetapi, saya mengerti bila ada yang melakukannya. ‘Karya seni’ semacam itu pantaslah dapat pengorbanan.

Baca juga: Intimidating Moms

Tas sudah menjadi simbol status nyaris seperti berlian. Lebih mencolok pula dibanding perhiasan. Selera dan kelas sosial langsung bisa ketahuan hanya dengan melihat tas yang ditenteng. Sekali puas dengan satu produk, biasanya konsumen tak bakal berhenti. Selalu ada model baru yang muncul dan menerbitkan air liur. Keinginan ini bisa diiringi pembenar, ukurannya beda, kok. Warnanya Beda. Atau yang ini punya retsleting, jadi lebih aman dibawa naik kendaraan umum. Jurus pembenar terakhir? Buat investasi. Haha, padahal tas preloved yang dijual lebih mahal daripada harga barunya tidak banyak. Ya sudahlah, akui saja, jatuh cinta itu kadang memang nggak masuk logika. Termasuk pada tas.

Selama nggak nyiksa diri, misal sampai ngutang-ngutang, atau nggak sampai parno, misal langsung blingsatan begitu tas kena noda, atau nggak terobsesi  (nggak bisa tidur kalau tas idaman belum di tangan), saya pikir masih oke. Kita semua punya ‘our own cup of tea’.  Dan yes, kita layak untuk menyanding kecantikan semacam itu, entah dari tas datau sepatu.  

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi