
Freelance? Maksudmu kamu belum dapat pekerjaan?
Freelance? Wah, enak dong, di rumah aja dapat duit.
Freelance? Asyik banget tuh, bisa liburan sesukanya.
Zaman boleh maju, teknologi boleh canggih, orang bisa jadi lebih gampang kerja di mana pun, tetapi faktanya pekerjaan freelance masih sering dipandang mata atau disalahpahami.
Toh, pekerjaan ini dinilai paling ideal buat para emak dengan satu alasan: bisa kerja sambil jagain anak. Tetapi apa benar demikian?
Awal-awal menjadi freelancer saya sempat mengalami ‘post-office syndrome’ (itu istilah saya sendiri). Saya kangen ngopi-ngopi cantik setelah jam kantor. Saya kangen nggosip di pantry dengan istilah-istilah sandi. Dan oh, tentu saja saya kangen dengan gaji tiap tanggal 25 yang dirayakan dengan shopping sesudahnya.
Dan siapa bilang saya bisa bekerja dan momong anak sekaligus? Sekarang, sih, sudah lumayan karena anak-anak saya sudah relatif bisa main sendiri. Dulu? Waduh, sering saya menulis sambil menyusui. Di lain waktu, saat saya mengetik si kecil justru ikut duduk dan memencet-mencet keyboard. Saat harus menemui klien, terpaksa si krucil saya angkut semua.
Pernah tuh, saya lagi ‘in’ banget menggarap adegan novel romantis, tercium bau ‘khas’ dari ke kecil yang lagi main di dekat saya. Aduh, buyar semua deh. Adegan romantis terputus adegan ganti popok.
Seiring berjalannya waktu, ‘distorsi’nya berganti; mengantar anak les, menemani main monopoli, dan menjadi wasit debat. Ini tentu masih ditambah tugas rutin lainnya; belanja, memasak, dan menjalankan tugas sosial seperti menghadiri pertemuan rutin PKK.
Jujur saja, ada waktu-waktu saya pernah menangis gara-gara seminggu penuh mengerjakan terjemahan yang tenggat waktunya mepet. Saya tak ingin berhenti bekerja, tetapi anak-anak tak bisa tidur tanpa saya temani. Mereka jadi rewel dan saya jadi jengkel. Saya terpaksa mengantar mereka tidur, membacakan cerita, dan berusaha keras agar saya tidak ketiduran juga. Malam itu terasa sangat panjang karena justru di saat seperti itulah anak-anak susah banget terpejam. Suami sudah membantu, tetapi anak-anak meminta ibunya! Rasa kesal bercampur dengan rasa bersalah. Saya sadar pekerjaan kadang membuat saya mengabaikan anak-anak.
Bagaimana dengan liburan sesukanya? Haha, yang justru lebih sering terjadi adalah saya terpaksa kerja juga di akhir pekan atau di malam tahun baru. Ternyata bekerja freelance tak seindah impian.
Minimnya relasi sosial juga menjadi tantangan tersendiri. Kerja di rumah berarti terkurung dalam kotak rumah nyaris 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Tak ada rekan kerja yang biasa jadi mitra membahas topik dewasa seperti ‘sale mana yang layak buat dikejar’ saat kepala sedang penat-penatnya. Percakapan harian saya berkisar antara, “Sayang, wortel akan membuat matamu cemerlang. Ayo, kunyah dan telan. Tidak, wortel tidak untuk dimasukkan hidung!”
“Bagaimana kamu menyeimbangkan waktu antara mengurus keluarga dan pekerjaan?” Saya pernah dapat pertanyaan itu. Saya jawab, “Enggak bisa seimbang.” Sewaktu anak-anak balita, sebagian besar waktu saya habis untuk mengurus mereka. Saya hanya menerima job kecil-kecil, untuk menjaga pikiran tetap waras.
Ini tentu berbeda bila kita bekerja kantoran. Ada zona waktu yang jelas; jam delapan sampai empat adalah waktu buat kerja, selebihnya buat keluarga dan lainnya. Untuk freelancer yang punya anak kecil, kewajiban-kewajiban tersebut berbaur. Kadang dilakukan dalam waktu bersamaan.
Toh, saya tetap memilih pekerjaan ini. Pertama, tentu karena anak-anak. Suami syukurlah, sejak awal mengatakan saya boleh kerja apa saja yang saya suka. Yang kedua, karena cinta. Serius Meski banyak ups and down-nya saya merasa enjoy menjalaninya. Kalau dipikir-pikir, pekerjaan apa yang enak melulu? Benar di kantor pergaulan lebih seru, tetapi tak dimungkiri ada rekan yang njengkelin dan printilan sosial yang enggak penting tapi terpaksa kita lakoni, entah rapat membosankan atau karaoke yang dihadiri bos (ngapain juga itu bos ikut karaokean?)
Stres yang melanda karena melakukan double job di rumah terbayar dengan pelukan tiba-tiba dari si kecil disertai ciuman yang mendarat di pipi tanpa alasan. Bisa tidur siang dan kerja sambil dasteran tentu jadi benefit plus (bagi yang suka). Bisa spa di Rabu pagi dan ke mal pada Senin siang juga membuat pekerjaan ini layak dijalani.
Satu syarat mutlak bagi perempuan sociable seperti saya adalah: punya geng emak-emak yang bertemu secara berkala, agar kami semua dapat berlaku selayaknya perempuan dewasa, yaitu ngobrolin diet sambil nyemil cheesecake.
Niken Terate
Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.