We may not be able to prepare the future for our children, but we can at least prepare our children for the future.
Franklin D. Roosevelt

Bullying Pontianak, Hukuman Apa Yang Tepat Bagi Tersangka?

author
Hasto Prianggoro
Jumat, 12 April 2019 | 10:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

Kasus dugaan bullying yang dialami Audrey, siswi SMP di Pontianak, Kalbar, mengundang banyak reaksi dan memunculkan tagar #JusticeForAudrey. Hukuman apa yang bisa dikenakan terhadap para tersangka?

 

Polisi kini sudah menetapkan 3 tersangka untuk kasus ini dengan ancaman hukuman 3,5 tahun. Selain tuntutan pidana, tersangka juga mendapatkan bullying dari netizen, bahkan dengan komentar yang sangat pedas dan kasar.

“Mereka kini mendapat hukuman sosial atau social punishment akibat perbuatan mereka,” kata Hanlie Muliani, M.Psi., Psikolog Anak, Remaja dan Pendidikan, Bullying Prevention Consultant dan Founder of SOA (Sahabat Orangtua & Anak).

Hanlie juga sedikit menyayangkan beberapa komentar netizen yang sangat kasar terhadap para pelaku. “Kalau seperti itu, apa bedanya kita dengan para pelaku?” ujarnya.

Dari aspek psikologi, yang jauh lebih penting adalah bahwa orang bisa berubah. “Tersangka perlu diberi edukasi, disembuhkan kalau memang punya problem diri yang membuat mereka melakukan perbuatan tak terpuji tersebut, misalnya ada tendensi menderita psikopatologi."

Hanlie melanjutkan, para tersangka pelaku harus diedukasi agar punya value hidup yang benar ke depannya, punya rasa toleran dan welas asih. “Hukuman mungkin bisa membuat jera, tetapi apakah mereka jera karena takut, karena malu, atau karena memang mereka sadar dan mau berubah menjadi orang yang lebih baik?”

Baca juga: Iri Hati, Faktor Penyebab Utama Bullying Pontianak?

Kecaman, exclusion, dan judgment dari masyarakat bisa jadi membuat mereka justru tumbuh menjadi pribadi yang makin keras, makin marah, dan antisosial seandainya tidak ada sentuhan pemulihan secara emosi dan psikologis.

“Afirmasi hukuman itu peneguhan, begitu juga afirmasi positif. Afirmasi positif lebih meneguhkan perilaku yang baik,” kata Hanlie. Misalnya seorang karyawan melakukan perbuatan tercela di tempat kerja. Kemudian atasannya mengatakan, “Gimana, sih kerjanya, enggak pernah bener.” Tetapi, giliran si karyawan bekerja baik, kalimat yang keluar dari mulut atasan, “Tumben, kerjanya bener..”

Nah, apakah ini akan membuat karyawan lebih giat bekerja? Tidak. Malah yang terjadi bisa sebaliknya.

Berbeda dengan afirmasi positif, misalnya kalimat seperti, “Wah saya senang sekali pekerjaan minggu ini selesai tepat waktu. Terima kasih, Anda sudah bekerja baik, menghargai dan mendengarkan masukan saya..” Efek yang dihasilkan pasti berbeda dan bisa jadi karyawan tersebut makin terpacu untuk bekerja lebih giat.

| SHUTTERSTOCK
Meski begitu, lanjut Hanlie, konsekuensi yang bersifat mendidik dan bisa mengubah para tersangka pelaku tetap harus diberikan. “Masih sangat mungkin para tersangka itu kembali menjadi anak yang baik, cuma memang perlu proses,” tuturnya.

Dari sisi korban, keluarga merupakan support system terdekat. Mereka harus memberikan support secara fisik (hadir, menemani) maupun mental spiritual. Setelah itu perlu penanganan profesional untuk menyembuhkan trauma korban.

“Orang sembuh secara psikis dari trauma bukan berarti melupakan kejadian yang membuatnya trauma, tetapi mengingat kejadian dengan emosi yang sudah netral. Tidak lagi takut, marah, maupun benci,” kata Hanlie.

Penulis Hasto Prianggoro
Editor Hasto Prianggoro