To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Membersihkan Rumah, ‘Membersihkan’ Diri

author
Ken Terate
Minggu, 2 Juni 2019 | 19:00 WIB
Bebersih rumah sebelum Lebaran | SHUTTERSTOCK

Ada ‘tugas berat’ menanti saya tiap Lebaran menjelang. Bukan memanggang kue (itu mah tidak berat), bukan pula beli baju baru (itu enggak wajib), tetapi… bersih-bersih! Ritual bersih-bersih menjelang Lebaran jelas berbeda. Tak sekadar mencuci kaca jendela atau menyingkirkan sarang laba-laba di plafon, tapi lebih mirip ‘cuci gudang’ atau ‘spring cleaning’. Belum-belum ritual ini sudah bikin saya merinding. Bukan karena saya takut kecapekan atau bersin-bersin, tetapi takut dosa-dosa saya terkuliti.

Tiap kali mau bersih-bersih lemari misalnya, saya termangu-mangu dulu. Saya bukan penggemar fashion. Beli baju pun termasuk jarang. Tetapi oh, mengapa lemari saya seperti meluap plus menjeritkan dosa-dosa saya. Di situ ada kebaya yang enggak nyaman dipakai tapi mau dibuang sayang karena ‘lumayan lah buat jaga-jaga, biar kalau kondangan bisa ganti-ganti’. Kenyataannya sih sudah sekian tahun kebaya itu tak pernah saya sentuh.

Ada celana yang udah kesempitan tapi saya pertahankan dengan harapan saya bakal kurus kembali (haha!).  Tentu saja ada baju-baju yang saya beli karena yap… dorongan diskon. Baju diskonan itu akhirnya hanya menghuni lemari karena setelah dicoba, eh kok warnanya enggak banget atau potongannya enggak nyaman.

Itu baru lemari baju. Lemari baju saya! Punya dua anak memberi saya alasan untuk belanja dan belanja. Entah itu makanan, mainan, atau yup, baju, bahkan ketika baju-baju mereka sebenarnya sudah bisa untuk membuka toko kecil.

Baca juga: Beberes Rumah Sambut Lebaran

Menimbun mainan juga serasa menimbun dosa. Beberapa mainan cuma dimainkan sekali dua kali lalu akhirnya meninggikan tumpukan sampah plastik. Tetapi demi anak anteng, saya berkali-kali membeli.

Bergeser dikit, tibalah saya di gunungan buku yang sudah tak lagi tertampung di rak. Maklum, kecepatan beli buku jauh lebih tinggi dibanding kecepatan baca. Tapi setelah berbulan-bulan, banyak juga buku yang sudah selesai terbaca dan seharusnya saya pindah tangankan. Namun begitulah, saya sering menunda-nunda.

Nah, nah, kebiasaan buruk itulah yang membuat bersih-bersih menjelang Lebaran terasa berat. Andai saya enggak impulsif kalau belanja. Andai saja tidak mudah termakan tawaran diskon. Andai saya tak suka menunda-nunda, mungkin bersih-bersih menjelang Lebaran enggak perlu-perlu amat atau setidaknya enggak berat-berat amat.

Tapi anyway, walaupun berat saya pikir bersih-bersih menjelang Lebaran tetaplah perlu. Rumah yang bersih bisa menjadi simbol hati yang bersih. Ketika kita membuang barang yang tak terpakai (dan hanya menyesaki rumah) ibaratnya kita juga membuang perasaan-perasaan negatif yang enggak perlu dan memberatkan langkah.

Satu lagi, saat bersih-bersih, kita jadi mengevaluasi diri. Selama setahun ini gimana pola konsumsi kita? Gimana cara kita mengelola keuangan –berdasarkan rasio atau emosi--? Bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri dan orang-orang yang kita sayangi? Terlalu pelit atau justru terlalu boros? Ke depannya bisa deh kita memperbaiki gaya hidup kita.

Baca juga: Merencanakan Budget Untuk Lebaran

Aduh, renungannya berat banget ya, bo. Enggak papa juga sih nggak pakai merenung-renung. Bersih-bersih tetaplah bagus. Pasti nyenengin kan punya rumah bagus, apalagi ada tamu-tamu yang datang. Tak ada tamu pun, rumah bersih adalah penghargaan bagi diri kita sendiri. Dan rasa leganya itu lo, tak terbeli.

Kalau ada rejeki, bersih-bersih ini bisa diikuti dengan menambahkan ‘kebaruan’ –asal memang butuh ya—entah itu sofa baru atau sekadar taplak baru. Tetapi tak ada pun tak  pa-apa karena yang penting kita terlahir menjadi jiwa yang baru. Tak perlu muluk-muluk, mari memulai dengan tekad baru untuk misalnya mengurangi sampah. Siap jadi manusia yang bersih dan baru?

 

 

 

 

 

 

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi