Tips Menjaga Psikologis Anak agar Tetap Kuat Pasca Perceraian

author
Dewi Shinta N
Selasa, 19 Agustus 2025 | 18:36 WIB
|

Pernikahan Asri Welas dan Galiech Ridha Rahardja yang telah berjalan 17 tahun resmi berakhir pada Januari 2025. Perceraian ini bukan keputusan yang diambil secara instan, melainkan hasil dari akumulasi berbagai masalah, termasuk isu perselingkuhan.

Meski dalam podcast bersama Indy Barends, Asri mengungkap anak sulungnya menjadi saksi bisu atas perselingkuhan sang mantan suami, namun Asri lebih memilih menutup rapat kasus perceraian ini dari anak kedua dan si bungsu. 

“Beberapa kali sempat nanya ‘ke mana’, tapi aku bilang udah pindah,” jawab Asri, saat ditanya Indy Barends tentang apakah kedua anak Asri mengetahui perceraian kedua orang tuanya.

Sikap Asri dalam menyingkapi kasus ini kepada anak-anaknya dinilai cukup tepat. Perceraian adalah peristiwa besar yang mengubah kehidupan keluarga, terutama bagi anak-anak. Proses ini bisa terasa rumit, penuh tantangan, dan emosi. Meski demikian psikologis anak juga tidak boleh diabaikan. 

Baca juga: Asri Welas Buka-bukaan: Anak Sulungku Mengambil Peran Ayah untuk Adik-adiknya

Menurut parenting coach Sue Atkins, ada beberapa penyesuaian sikap yang perlu dilakukan Ayah dan Bunda agar kesehatan psikologis anak tetap terjaga setelah perceraian.

Melihat perbedaan jarak usia anak Asri Welas membuat kita belajar bagaimana harus menyikapi sebuah masalah berdasarkan usia Si Kecil. Memahami tahap perkembangan anak akan membantu Ayah dan Bunda menyesuaikan cara mendampingi mereka melewati perubahan besar ini.

Berikut karakteristik Si Kecil dan tips menanganinya berdasarkan usia, menurut Sue Atkins:

Usia 0–5 Tahun: Bayi hingga Balita

Karakteristik:

  • Bayi dan balita sepenuhnya bergantung pada orang tua.
  • Belum bisa memahami peristiwa yang kompleks atau membayangkan situasi mereka di masa depan.
  • Bisa merasakan mood dan sikap orang tua.

Tips untuk Ayah dan Bunda:
Tetaplah bersikap positif. Bayi akan merasakan apa yang dirasakan orang tuanya. Cobalah untuk tetap menjaga rutinitas Ayah, Bunda dan Si Kecil seperti biasa, seperti rutinitas makan, bermain, mandi, dan tidur.

Usia 3–4 Tahun: Anak Pra-Sekolah

Karakteristik:

  • Mulai belajar mandiri tetapi masih sangat bergantung pada orang tua.
  • Masih belum sepenuhnya memahami sebab-akibat dan belum bisa membayangkan situasi mereka di masa depan.
  • Cenderung egois.
  • Masih belum bisa memahami perbedaan khayalan dan dunia nyata.

 

Apa yang perlu diwaspadai:
Anak bisa menunjukkan stres melalui ketakutan, kemarahan, merengek, atau regresi perilaku. Mereka mungkin salah paham, mengira perceraian terjadi karena kesalahan mereka.

Tips:
Gunakan penjelasan singkat dan konkret. Jelaskan siapa yang pindah, di mana anak akan tinggal, dan kapan mereka bertemu orang tua lainnya. Seringlah mengajak Si Kecil mengobrol, pendekatan ini membuat ia merasa tetap disayang dan diperhatikan.

Baca juga: Anak Tak Sengaja Melihat Orang Tua Selingkuh, Apa yang Sebaiknya Dilakukan Ayah dan Bunda?

Usia 6–8 Tahun: Anak Usia Sekolah Dasar

Karakteristik perkembangan:

  • Mulai bisa mengungkapkan perasaan, meski masih butuh bahasa sederhana.
  • Mulai membangun hubungan di luar keluarga teman, guru, dan lainnya.
  • Pandangan lebih luas, tetapi tetap sulit memahami situasi kompleks seperti perceraian.

Tips:
Ayah dan Bunda perlu meluangkan waktu untuk mengajak Si Kecil mengobrol santai sesering mungkin, agar mereka lebih terbuka dan percaya jika orang tuanya masih menjadi tempat teraman mereka. Selain itu, tetaplah datang ke acara penting Si Kecil walau tidak tinggal serumah. Sikap ini menunjukkan bahwa mereka tetap menjadi prioritas.

Usia 9–11 Tahun: Pra-Remaja

Karakteristik 

  • Lebih memahami perubahan yang terjadi.
  • Lebih berpikir kritis, salah satunya menyalahkan salah satu orang tua.
  • Mulai berani mengambil keputusan sendiri.
  • Mudah cemas dan takut karena menganggap perceraian akan memisahkan ia dari kedua orang tuanya.

Apa yang perlu diwaspadai:
Anak mungkin merasa bersalah atau berpikir agar orang tuanya kembali bersama. Mereka perlu diyakinkan bahwa perceraian bukan kesalahan mereka.

Tips:
Pertahankan rutinitas sehari-hari dan buat suasana rumah tetap positif. Dengarkan apa yang ia bicarakan dan hindari menyalahkan orang tua lain di depan Si Kecil. 

Usia 12–14 Tahun: Remaja Awal

Karakteristik perkembangan:

  • Lebih mampu memahami alasan perceraian
  • Sedang membangun kemandirian, sering mempertanyakan otoritas orang tua.
  • Hubungan dengan teman menjadi prioritas.

Apa yang perlu diwaspadai:
Perubahan emosi, sikap memberontak, atau cenderung apatis terlihat di usia ini. Meski terlihat tidak peduli, mereka tetap membutuhkan kasih sayang dan dukungan.

Tips:
Tetap jaga komunikasi. Bangun kepercayaan pada Si Kecil, tunjukkan bahwa Ayah dan Bunda tetap ada untuk mereka, dan jangan ikut acuh meski mereka mulai menghindari obrolan dengan Ayah dan Bunda. Selain itu, tunjukkan kasih sayang. Pelukan, sentuhan, atau sekadar menepuk bahu sangat berarti meskipun mereka berpura-pura tidak membutuhkannya.

Baca juga: Support System Bukan Tanda Kelemahan, Justru Penting agar Karir dan Keluarga Seimbang

Usia 15–18 Tahun: Remaja Akhir

Karakteristik: 

Pada masa ini, remaja berada di tahap transisi menuju kemandirian. Mereka mulai mempersiapkan diri meninggalkan rumah, entah untuk kuliah, bekerja, atau hidup mandiri. Namun, meski terlihat dewasa, perkembangan emosional dan moral mereka belum sepenuhnya matang.

Konflik batin sering muncul, seperti:

  • Merasa jauh dari Ayah dan Bunda.
  • Marah pada salah satu atau kedua orang tua karena menjadi penyebab hancurnya masa depan mereka.
  • Malu atau merasa tidak nyaman ketika perceraian dibicarakan di depan umum.
  • Mengkhawatirkan masa depan, terutama soal biaya kuliah atau rencana hidup.
  • Merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan orang tua.

Tips untuk Ayah dan Bunda:

  1. Tetap menjadi orang tua, bukan sekadar teman. Di usia ini anak butuh batasan yang jelas dan konsisten antara orang tua dan anak, meskipun mereka bersikap apatis.
  2. Tetap jadi panutan. Tunjukkan cara mengelola emosi, menjaga kesehatan, dan membuat keputusan bijak. Hal-hal seperti ini membuat ia merasa tenang dan tetap melihat Ayah dan Bunda sebagai panutan.
  3. Berikan dukungan penuh. Di usia ini anak masih membutuhkan Bunda, baik dari segi finansial dan emosional. Beri keyakinan pada mereka kalau Ayah dan Bunda mampu membiayai kebutuhan sekolah hingga ia meraih masa depan yang diinginkan.
  4. Hormati kemandirian mereka. Libatkan Si Anak dalam plan pembagian waktu kapan ia bertemu dengan Ayah dan Bunda. Hal ini juga diperlukan seiring menyesuaikan jadwal aktivitas anak yang semakin bertambah.
  5. Jaga hubungan dengan kedua orang tua. Bebaskan anak untuk mencintai Ayah maupun Bunda, dan dorong mereka menghabiskan waktu dengan keduanya.
  6. Tetap terlibat walau tidak tinggal serumah. Hadiri acara penting anak, dan tunjukkan bahwa mereka tetap menjadi prioritas.
  7. Tunjukkan kasih sayang. Pelukan, sentuhan, atau sekadar menepuk bahu sangat berarti meskipun mereka berpura-pura tidak membutuhkannya.

Setiap anak memiliki cara sendiri dalam memproses perasaan. Ini juga dipengaruhi oleh usianya. Tugas utama Ayah dan Bunda adalah memberi rasa aman, cinta, dan konsistensi, meskipun kondisi keluarga berubah. 

Sumber: Sue Atkins Parenting Coach

Penulis Dewi Shinta N
Editor Dewi Shinta N