When I get up and work out, I’m working out just as much for my girls as I am for me, because I want them to see a mother who loves them dearly, who invests in them, but who also invests in herself. It’s just as much about letting them know as young women that it is OK to put yourself a little higher on your priority list.
Michelle Obama

Uangmu, Uangku, Uang Kita

author
Ken Terate
Sabtu, 28 September 2019 | 14:00 WIB
| SHUTTERSTOCK

“Dari awal menikah hingga kini sudah pensiun, saya selalu memberikan seluruh penghasilan kepada istri. Kalau saya butuh uang, saya minta padanya,” ungkap seseorang di Grup Facebook alumni. Sontak unggahan tersebut mendapat banyak like dan komentar positif. Terutama dari perempuan. “Ini namanya suami idaman.” Begitulah rata-rata tanggapannya.

Ah, ya, pasti banyak perempuan yang senang bila suami menyerahkan seluruh penghasilan padanya. Apalagi bila kebetulan suamilah yang mencari nafkah. Tetapi apakah menyerahkan seluruh uang pada istri atau suami saja adalah cara terbaik mengelola keuangan keluarga? Tentu tidak.

Saya dan suami punya penghasilan masing-masing. Punya tabungan masing-masing. Punya pengeluaran masing-masing juga di luar pengeluaran bersama. Meski tanpa perjanjian, urusan belanja terbagi otomatis.  Suami menanggung pengeluaran yang besar-besar; renovasi rumah, gas, listrik, internet, perawatan kendaraan, dan makan sehari-hari. Sementara, saya menanggung kebutuhan anak-anak; iuran les, baju, buku, dan mainan dan belanja bulanan. Hobi masing-masing ditanggung masing-masing.

Baca: Tipe Ibu Berdasarkan Zodiak

Tapi itu pun tidak kaku. Kami siap saling mengisi. Bila yang satu kekurangan, yang lain siap menopang karena setelah jadi keluarga, rasanya sudah tak ada lagi sekat aku atau kamu. Adanya aku dan kamu. Suami beli anggrek buat hobinya, yang menikmati keindahannya kami semua. Kalau saya beli buku yang saya suka dan dapat ilmu darinya, saya pasti bagikan juga ke anggota keluarga lain.

Nah, balik lagi ke soal pengelolaan keuangan. Ada suami yang lebih suka memberikan semua penghasilan ke istri lalu minta “uang saku” tiap hari. Ada pula yang memberikan sebagian penghasilan ke istri, sementara sebagian yang lain tetap ia pegang. Ada pasangan yang lebih suka menggabungkan semua penghasilan mereka, lalu mengambil dari sana untuk belanja. Ada pula yang menerapkan sistem ‘iuran’ alias menyetorkan sebagian penghasilan mereka ke satu rekening yang memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bersama, seperti bayar cicilan rumah atau rekreasi. Banyak sekali variasinya. Ini sangat tergantung dari keadaan rumah tangga yang bersangkutan; jenis pekerjaan, kebiasaan, karakter pribadi, atau pengalaman interaksi selama ini.

Pengelolaan keuangan pasangan yang keduanya kerja sebagai karyawan tentu beda dengan pasangan yang menjalankan satu bisnis bersama. Beda lagi dengan suami-istri yang keduanya melakoni pekerjaan freelance.

Baca: Sebelum Menuduh Orang Lain

Suami yang memasrahkan semua uangnya kepada istri tak selalu berarti ia ‘kalah’ di depan pasangan atau ‘cinta banget’ padanya.  Bisa jadi ia terbukti boros dan tak bisa mengendalikan diri dalam berbelanja. Ada kenalan laki-laki yang ngaku begini, “Dah, pokoknya semua uang kukasih ke istri. Dia yang bayar-bayar iuran tiap bulan. Kalau aku belanja online, dia juga yang ngurus pembayarannya. ATM dan kartu kredit dia yang pegang. Aku males ngurusin kayak gitu.” Haha, ternyata karena ogah ribet.

Setiap keluarga punya cara terbaik versi mereka. Kebanyakan istri (tidak semua lho) suka bila semua penghasilan suami diberikan padanya. Lebih dari perkara uang, ini menyangkut kepercayaan. Suami percaya istri bisa mengelola keuangan dengan baik. Istri percaya suami tak akan membelanjakan uang untuk hal-hal tak berfaedah di luar pengetahuannya. Saya dan suami punya rekening terpisah pun juga karena saling percaya. Kami saling percaya pada kedewasaan masing-masing dalam mengelola keuangan. Dengan demkian meski kondisi keuangan kami –seperti halnya kondisi keuangan pasangan muda pada umumnya-- tak selalu baik, hubungan kami syukurlah baik-baik saja. 

 

 

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi