A father holds his daughter’s hand for a short while, but he holds her heart forever.
Unknown

Perjuangan Panjang di Balik Kemenangan Greysia-Apriyani

author
Ruth Sinambela
Rabu, 4 Agustus 2021 | 16:08 WIB
| sport.detik.com

 

Kemenangan pasangan atlet bulutangkis ganda putri nasional di ajang Olimpiade Tokyo 2020 benar-benar bikin bangga ya, Bun. Selain jadi penyumbang medali emas pertama serta satu-satunya untuk Indonesia di pesta olahraga terbesar dunia ini, prestasi keduanya juga mencatatkan sejarah bagi bulutangkis Indonesia.

Pasalnya, ini merupakan medali emas Olimpiade pertama untuk Indonesia di nomor ganda putri cabor bulutangkis. Selain itu juga membuat Indonesia jadi negara ke-2 yang sudah pernah memenangkan medali emas di Olimpiade untuk semua nomor bulutangkis yang ada, yaitu tunggal putri, tunggal putra, ganda campur, ganda putra, dan ganda putri.

Setelah berhasil menang dari pasangan Tiongkok Chen Qingchen dan Jia Yifan dengan skor akhir 21-19, 21-15, perjalanan karir hingga pengalaman hidup keduanya menjadi sorotan. Hal ini tentu saja memberi dampak baik, karena keduanya jadi inspirasi untuk banyak orang. Mereka dianggap dua perempuan yang tangguh dan tidak kenal kata menyerah. Wajib banget dijadikan panutan!

 

Baca juga: Inspiratif, Atlet AS Berhijab Pertama Peraih Medali Olimpiade

 

Greysia Polii yang hampir pensiun dari bulutangkis

Berbeda dengan Apriyani Rahayu, Greysia Polii sudah lebih dulu berkarir sebagai atlet nasional bulu tangkis. Setidaknya, Greysia sudah 3x ikut Olimpiade. Perjalanan karir Greysia memang dihiasi dengan bebagai kemenangan, namun ada juga kisah kelam yang dialaminya.

Pada Olimpiade London 2012 Greysia Polii Bersama pasangan gandanya, Meiliana Jauhari didiskualifikasi dari pertandingan saat melawan pasangan ganda putri Korea Selatan, Ha Jung Eun/Kim Min Jung. Kedua pasangan ini dianggap melakukan manipulasi dan berupaya untuk kalah, karena ingin menghindari pasangan nomor satu dunia asal Tiongkok, Wang Xiaoli/Yu Yang di perempat final.

Skandal tersebut membuat Greysia sempat terpuruk hingga ingin pensiun. Dan ternyata itu bukan satu-satunya momen dimana Greysia ingin berhenti main bulutangkis. Meski telah bangkit dan bertanding kembali di Olimpiade Rio 2016, pasangan duet Greysia saat itu, Nitya Krishindia Maheswari mengalami cidera dan harus pensiun demi alasan kesehatan. Di sinilah Greysia kembali memikirkan ide untuk meninggalkan karirnya sebagai atlet bulutangkis.

Untung saja niat itu tidak ia lakukan. Di tahun 2017 Greysia bertemu pasangan ganda barunya, Apriyani Rahayu, yang akhirnya menjadi pasangan ganda peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020.

 

Baca juga: 40 Tahun Persahabatan Retno Marsudi dan Sri Mulyani Indrawati

 

Perjuangan Apriyani Rahayu menjadi pebulutangkis

Rupanya, kisah inspiratif tidak hanya datang dari perjalanan karir Greysia. Apriyani pun memiliki perjuangan yang pantas diacungi jempol, Bun.

Tidak mudah perjalanan karir yang harus dilalui Apriyani, sebagai anak dari seorang ayah yang berprofesi sebagai seorang PNS sekaligus petani, dan ibu rumah tangga.

Dalam sebuah video wawancara yang viral, Apriyani bercerita bahwa saat kecil ia harus bermain bulutangkis dengan raket kayu buatan ayahnya, sebelum orang tuanya kemudian memutuskan menjual perhiasan untuk dapat membelikan Apriyani sebuah raket baru. Apriyani juga sempat bercerita bahwa saat kecil dirinya harus menjual sayuran hasil kebun orangtuanya untuk mendapatkan uang saku.

Cerita inspiratif lainnya yang membuat nama Apriyani Rahayu dianggap tangguh adalah ketika tahun 2015 dirinya sedang bertanding di ajang Kejuaraan Dunia Bulutangkis Junior, ia tetap melanjutkan pertandingan meski dapat kabar bahwa sang ibunda meninggal dunia.

 

Gimana, Bun? Luar biasa, kan, perjuangan kedua srikandi bulutangkis Indonesia ini? Mereka bisa jadi inspirasi Bunda untuk kembali semangat mengejar cita-cita yang tertunda. Karena keduanya membuktikan bahwa tidak ada batasan usia atau ketebatasan ekonomi yang dapat menghentikan mimpi.

Bisa jadi kisah inspirasi untuk anak-anak kita nantinya juga, Bun!

Penulis Ruth Sinambela
Editor Ratih Sukma Pertiwi