
World Obesity Federation mengumumkan, akan ada 18% pria dan 21% Wanita yang mengalami obesitas pada tahun 2025. Faktanya, obesitas memang merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius. Kondisi ini bukan sekadar mengurangi daya tarik seseorang, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes melitus tipe 2, stroke, hingga beberapa jenis kanker.
Untuk mencegah obesitas, kita memang harus mengubah gaya hidup. Dari mengatur pola makan, olahraga secara teratur, tidur cukup, serta mengelola stres. Kombinasi itulah yang akan membantu menurunkan berat badan kita.
Nah, kalau kamu sedang mencari cara untuk menurunkan berat badan, pasti istilah-istilah ini sering muncul: intermittent fasting, dan defisit kalori atau mengurangi porsi makan. Sebenarnya, apa beda intermittent fasting dan defisit kalori? Lalu, yang mana yang lebih efektif?
Baca juga: 4 Barang yang Sebaiknya Tidak Disimpan di Kamar, Menurut Ahli Feng Shui
Intermittent Fasting
Intermittent fasting atau IF dilakukan dengan membatasi asupan makan selama beberapa jam, dan berpuasa pada sisa waktu yang ada. Misalnya kamu hanya makan dari pukul 12.00 sampai pukul 20.00 (model 16:8, puasa 16 jam dan makan 8 jam), sisanya puasa.
Ada juga yang model 5:2, di mana kamu makan normal selama 5 hari, dan 2 hari lainnya makan sangat sedikit (misalnya cuma 500 kalori).
Menariknya, IF ini tidak mengatur apa yang boleh dimakan, tapi lebih ke kapan kamu boleh makan. Secara tidak langsung, banyak orang jadi makan lebih sedikit karena waktu makannya lebih terbatas. Jadi, tanpa sadar mereka masuk ke defisit kalori juga.
• Plus: bisa membantu memperbaiki metabolisme, sensitivitas insulin, bahkan ada yang mengatakan bisa memperpanjang umur (meskipun hal ini masih membutuhkan riset lebih lanjut).
• Minus: tidak semua orang mampu menahan lapar dalam waktu lama. Kalau kamu tipe yang gampang lapar, IF bisa bikin kamu cranky, atau malah balas dendam saat waktu makan tiba.
Defisit Kalori
Sederhananya, defisit kalori artinya mengurangi kalori yang dibakar oleh tubuh dalam sehari. Misalnya, tubuh butuh 2000 kalori per hari, tapi kamu makan cuma 1700 kalori. Nah, selisih 300 kalori itulah yang disebut defisit, dan dari situlah berat badan mulai turun.
Baca juga: Tantrum Tiap Dibilang Tidak, Hanya Salah Satu Tanda Anak Terlalu Dimanjakan
Metode ini dilakukan dengan cara mengurangi porsi makan, memilih makanan yang kalorinya rendah tetapi tetap mengenyangkan, atau menambah aktivitas fisik supaya kalori yang terbakar makin banyak.
• Plus: kamu masih bisa makan kapan saja dan makanan apa saja, asal tetap dalam batas kalori harian.
• Minus: butuh usaha untuk menghitung kalori dan mengurangi porsi makan. Kalau tidak hati-hati, kamu malah bisa kekurangan nutrisi atau metabolismenya jadi lambat karena terlalu banyak mengurangi makan.
Mana yang Lebih Efektif?
Baik intermittent fasting maupun defisit kalori sebenarnya sama-sama bisa membantu menurunkan berat badan, asal dilakukan secara konsisten dan tetap menjaga asupan nutrisi.
Kuncinya, mana yang lebih cocok dan bisa kamu jalani dalam jangka panjang. Jika Bunda tipe yang fleksibel soal jam makan tapi bisa disiplin menghitung kalori, defisit kalori mungkin lebih cocok.
Baca juga: 6 Rekomendasi Wisata Edukasi yang Bikin Anak Nambah Keterampilan selama Liburan
Tetapi kalau Bunda tidak mau ribet menghitung kalori tiap kali makan dan lebih suka punya jadwal makan yang jelas, intermittent fasting bisa jadi pilihan.
Untuk memilih metode diet yang pas, coba tanya diri sendiri. Kalau kamu bisa menahan lapar dan bisa makan hanya di jam-jam tertentu, IF bisa jadi pilihan. Kalau kamu suka ngemil seharian, atau lebih suka makan kapan saja asal porsi dijaga, defisit kalori mungkin lebih cocok.
Yang penting, jangan sampai metode diet yang kamu pilih malah bikin kamu stres atau kekurangan gizi. Selain itu, percuma punya metode yang paling efektif, tapi kamu tidak tahan menjalaninya lebih dari seminggu. Lebih baik turun pelan-pelan tapi konsisten, daripada cepat turun lalu cepat naik lagi, kan?
Kalau kamu masih bingung mau mulai dari mana, coba dua-duanya seminggu-seminggu. Rasakan sendiri mana yang lebih enak dijalani. Karena pada akhirnya, diet itu bukan soal siapa yang paling cepat kurus, tapi siapa yang bisa tetap sehat dalam jangka panjang.
Sumber: VeryWell Health, Times of India