
Bunda pasti pernah kewalahan menghadapi anak yang mendadak tantrum atau menangis berlebihan. Terkadang, tingkah polah mereka terlihat seperti drama yang dibuat-buat, memancing perhatian, atau bahkan menguji kesabaran.
Kadang penyebabnya sepele, “hanya” karena botol susunya bukan yang warna pink. Atau, gara-gara nggak diizinkan memakai baju princess ke minimarket. Namun, reaksi yang mereka tunjukkan jauh melampaui situasi yang sebenarnya, membuat Bunda kesal dengan ulah mereka yang bak drama queen.
Buat orang tua, ulah mereka mungkin terasa mengada-ada. Namun buat anak, tangisan mereka itu menjadi cara paling jujur untuk menyampaikan perasaan yang belum bisa diungkap dengan kata-kata.
Alih-alih langsung mengomel atau menghukumnya, yuk coba pahami dulu penyebab anak jadi drama queen dan apa yang dia rasakan saat emosinya meledak-ledak.
Baca juga: Sering Digendong Bikin Bayi Manja dan Bau Tangan? Yuk, Cari Tahu Faktanya!
Emosi Anak merupakan Sinyal yang Perlu Didengar
Ledakan emosi ini sebenarnya bagian dari proses tumbuh kembang mereka. Anak-anak masih belajar memahami, mengenali, dan mengatur perasaannya. Di balik semua tangisan tersebut, ada proses kompleks dalam otak dan tubuh kecil mereka yang sedang belajar mengelola rasa kecewa, marah, hingga frustrasi.
Tugas orang tua bukan memadamkan emosi itu, tetapi mendampingi. Ini menjadi momen berharga bagi Bunda untuk hadir, mendengarkan, dan memberi pelukan. Validasi perasaan anak seperti mengatakan “Kamu lagi kesal, ya?” agar anak merasa dimengerti.
Dengan begitu, anak juga merasa aman untuk mengekspresikan diri. Pelan-pelan ia belajar bahwa emosinya valid, hanya saja perlu dikelola dengan cara yang sehat. Hal ini bukan proses instan; setiap pelukan, respons tenang, dan empati yang diberikan hari ini akan membentuk ketahanan emosional mereka di masa depan.
Fenomena Anak Rewel
Di media sosial, masih banyak konten yang menunjukkan ekspresi anak ketika sedang menangis atau tantrum, yang malah dijadikan bahan hiburan. Kadang orang dewasa melihat momen rapuh itu sebagai bahan hiburan, direkam, disebar, dijadikan konten lucu.
Padahal, di balik tangisan atau ledakan emosi itu, ada anak yang lagi butuh dipahami, bukan ditertawakan. Mereka belum punya kontrol emosi yang stabil, jadi wajar kalau mereka kadang meledak saat kesal, takut, atau bingung.
Rewel bukan tanda kenakalan, tapi sinyal bahwa anak merasa tidak nyaman. Di usia 1–5 tahun, anak sangat sensitif terhadap perubahan seperti lapar, kurang tidur, atau lingkungan yang bising. Hal itu menambah buruk suasana hatinya, dan kemudian menjadi penyebab anak jadi drama queen.
Dijadikan bahan tertawaan hanya membuat anak merasa nggak aman untuk menunjukkan perasaannya. Lama-lama ia bisa tumbuh dengan pola pikir bahwa emosi itu sesuatu yang harus ditahan, bukan dimengerti.
Baca juga: Di Balik Gentle Parenting, Ada Lelah yang Tak Pernah Terbanding
Fenomena ini juga mencerminkan miskonsepsi umum, bahwa masih banyak orang tua yang gagal membedakan antara emosi yang sehat dan yang sudah berlebihan. Kalau anak terus-terusan dicap lebay atau drama, kita sebagai orang tua bisa jadi nggak peka lagi sama apa yang sebenarnya mereka butuhkan secara emosional.
Menurut The Centre for Evidence-Based Medicine, menangis atau merespons berlebihan terhadap hal sepele bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk pengolahan stres.
Dalam konteks anak-anak, ekspresi yang terlihat lebay sebenarnya adalah bentuk komunikasi. Anak yang merasa dipahami cenderung tumbuh jadi pribadi yang memiliki empati dan mampu bersosialisasi dengan baik.
Metode transparansi parenting ini juga dapat menguatkan koneksi dan kedekatan antara orang tua dan anak, jadi lebih mengedepankan komunikasi dalam penyelesaian masalah.
Sebaliknya, jika terus diremehkan atau diabaikan, mereka bisa kehilangan keberanian untuk jujur tentang perasaannya. Yang dibutuhkan bukan label, tapi ruang aman untuk merasa bisa bebas dalam berekspresi.
Orang Tua yang Mudah Marah Menyebabkan Anak Rewel
Lingkungan emosional sangat mempengaruhi cara anak merespons dunia di sekitarnya. Ketika anak tumbuh di rumah yang penuh berantakan, omelan, atau ekspresi marah yang tidak terkendali, ia belajar bahwa ledakan emosi adalah cara wajar untuk bereaksi terhadap masalah. Akibatnya, anak bisa memiliki sifat yang emosional atau temperamental.
Baca juga: Bukan Sekedar Bermain, Ini 8 Manfaat Pergi Liburan untuk Si Kecil
Ekspresi emosional anak adalah cerminan dari lingkungan yang belum sehat. Anak meniru bukan hanya kata-kata, tapi juga cara bereaksi. Maka, penting bagi orang tua untuk menunjukkan cara mengelola emosi dengan tenang dan penuh empati.
Cara Mendidik Anak yang Emosional
Menghadapi anak yang emosional bukan dengan cara membungkam tangisan atau menyuruhnya diam. Lebih baik lakukan hal ini:
1. Bantu anak mengenali perasaannya. Validasi perasaan anak dengan cara sederhana seperti, “Bunda tahu kamu marah,” agar anak merasa dimengerti, bukan dihakimi.
2. Gunakan momen emosi sebagai ajang belajar. Setelah anak tenang, ajak bicara dengan nada lembut, bukan nada tinggi. Ini akan membuka ruang komunikasi dua arah. Ajarkan juga cara bernapas pelan atau menenangkan diri agar ia tahu bahwa emosi bisa dikendalikan, bukan dilawan.
3. Beri contoh yang baik. Anak meniru, bukan mendengar nasihat panjang. Kalau kita bisa tetap tenang saat lelah atau kesal, anak pun belajar bahwa mengelola emosi itu mungkin.
Emotional coaching nggak perlu rumit. Cukup mulai dari kepekaan, konsistensi, dan keberanian untuk mendampingi, bukan mengadili. Ini langkah kecil yang berdampak besar untuk masa depan emosional anak.
Sumber: Hello Sehat, Unicef, CEBM