To her, the name of father was another name for love.
Fanny Fern

Reuni

author
Ken Terate
Sabtu, 22 Juni 2019 | 20:00 WIB
Reuni | SHUTTERSTOCK

Liburan panjang biasanya diwarnai dengan undang reuni bersliweran, baik reuni kecil-kecil dan impulsif (yuk ketemuan, jam dua nanti kumpul di mal X yak) atau reuni super well-planned yang diatur event organizer.

Di musim seperti inilah Nani (karyawati) sibuk luar biasa. Dia mengatur berbagai reuni, mulai dari reuni gang SMA, angkatan kuliah, sampai reuni mantan karyawan tempat kerjanya dulu. Nani memang terkenal sebagai ‘sosialita’. Kemampuan mengorganisasi acara juga membuat dia selalu jadi panitia acara kumpul-kumpul. Ia menjalankan peran itu dengan gembira “Kumpul sama teman-teman membuatku awet muda,” kata Nani yang sedang menanti kelahiran cucu pertamanya ini.

Firza lain lagi. Ia nyaris tak pernah mendatangi reuni. “Teman-temanku sukses. Sedangkan aku cuma ibu rumah tangga gini. Rumah masih ngontrak. Mobil tak punya.” Firza sadar teman-temannya tidak bakal meremehkannya. Mereka juga tidak bakal membawa mobil hanya buat pamer. Namun rasa rendah diri itu tetap bercokol dalam dirinya.

Lain halnya dengan Barry. Dia tertawa saat menceritakan reuni SMA yang baru saja dihadirinya. “Aku cuma mlongo aja. Unbelievable, tapi aku nyaris nggak kenal siapa-siapa di sana. Mau nanya tengsin juga. Kesannya aku melupakan teman. Nah, giliran aku ketemu wajah yang kukenal, kami nggak bisa ngobrol apa-apa. Percakapan cuma seputar kerja di mana sekarang, udah nikah? Anakmu berapa? Terus… stuck. Wajar lah, waktu masih satu sekolah aja kami jarang ngobrol. Beda circle.” Barry yang kini bekerja di perusahaan IT mengaku netral-netral aja soal reuni meski ia jarang menghadirinya. “Nggak sempet. Tiap pulang ke kota asal, acara pribadi udah berendengan. Belum lagi istri dan anak-anak ngajak dolan-dolan. Padahal jatah libur terbatas.”

Baca juga: Silaturahmi Asyik Tanpa Terganggu Nyinyir

Saya bisa membayangkan situasi Barry. Saya pun pernah kagok saat reuni karena alih-alih bertemu muka lama, saya merasa ketemu orang-orang yang sama sekali baru. Malu berat rasanya saat si ‘orang baru’ ternyata mengenali saya dan mengatakan dulu kami sekelas. Jiah, saya dulu ngapain aja sih waktu sekolah? Saya bukan tipe siswa yang kuper, tetapi saya akui, I am not good at keeping in touch. Saya tidak mengingat hari ulang tahun. Saya tidak menyapa secara random untuk menyakan kabar atau rajin mencari update teman-teman lama. Ketika FB mengingatkan hari ultah teman, saya juga tidak selalu mengucapkan selamat.  Out of sight, berarti out of mind juga. Hanya wajah dan nama teman-teman yang dulu benar-benar dekat saja yang saya ingat. Itupun kalau sudah sepuluh tahun lebih nggak berinteraksi bakal bikin gagu juga. Mau ngomongin apa?

Soal reuni ternyata balik ke masing-masing kita. Ada bermacam alasan untuk datang atau tidak datang ke acara ini. Tapi faktor utama saya pikir adalah kedekatan dengan komunitas dan kenangan saat bersama komunitas itu. Tidak heran bila ada orang yang enggan reuni dengan teman kuliah, tetapi happy reuni dengan tim KKN. Mungkin KKN yang cuma dua bulan itu lebih berkesan dibanding kuliah bertahun-tahun. Demikian juga kalau pas sekolah seseorang dibully, sulit dibayangkan dia bakal nyaman datang reuni.

Ada yang males datang reuni karena takut ketemu mantan. Ada yang justru semangat reuni karena pengin ketemu mantan. Ada yang memandang reuni sebagai ajang meluaskan jaringan dan bisnis, sementara ada yang menganggap reuni sebagai pemborosan karena jadi ajang pamer.

Kamu sendiri bagaimana?

 

 

 

Niken Terate

kenterate@gmail.com

Memulai debut sebagai penulis profesional sejak bangku kuliah. Telah menghasilkan belasan novel, cerpen, dan artikel. Baginya hidup terasa sempurna bila bisa menikmati teh hangat sambil ngobrol seru dengan orang-orang dekat.

 

Penulis Ken Terate
Editor Ratih Sukma Pertiwi