Ayah Bunda pernah mengunggah foto atau video aktivitas si Kecil di media sosial? Bagaimana perasaan Ayah Bunda saat konten tersebut mendapatkan respons positif dari orang lain? Pasti ada rasa bangga. Namun, di balik fenomena “sharenting”, ada batasan privasi anak yang wajib orang tua ketahui.
Orang tua mana yang tidak tergoda untuk membagikan momen-momen berharga keluarga di media sosial? Atas nama visual diary atau album koleksi, orang tua gemar membagikan foto-foto lucu, rekaman video, hingga cerita perkembangan anak-anak mereka di media sosial. Fenomena berbagi konten anak-anak di media sosial ini kemudian populer dengan sebutan sharenting, dari gabungan kata sharing dan parenting.
Istilah sharenting muncul dari istilah oversharenting di sebuah artikel Wall Street Journal (2012), ‘The Facebook-Free Baby’, oleh Steven Leckart yang mengulas perilaku orang tua membagikan konten anaknya secara berlebihan. Tidak hanya di Amerika Serikat, fenomena sharenting juga merambah di berbagai negara, seperti Italia, Spanyol, Prancis, Inggris, termasuk Indonesia.
Dari Personal ke Dukungan Sosial
Tidak dapat dipungkiri, media sosial telah tumbuh menjadi platform penting dalam keseharian masyarakat Indonesia. Dilansir dari data.goodstat.id, 60,4% dari total populasi Indonesia telah menggunakan media sosial pada tahun 2023. Jumlahnya diprediksi terus meningkat hingga mencapai 81,82% di tahun 2026.
Terkait fenomena sharenting, Kidday.com (2023) menyebutkan media sosial menjadi platform bagi orang tua untuk berbagi pencapaian atau momen tumbuh kembang si Kecil dengan keluarga dan teman, terutama yang tinggal jauh. Di media sosial, dokumentasi berupa foto, video, maupun tulisan tentang si Kecil dapat diakses berulang saat ingin mengenang kembali momen berharga itu.
Sementara Santhosh Kumar dkk (2023) dalam Psychological Impact of Sharenting: A Comprehensive Review menyebutkan sharenting juga menjadi ajang atau kesempatan bagi orang tua untuk menerima validasi dan pujian atas upaya pengasuhan yang dilakukan. Beragam respons dari orang lain, seperti likes atau comments, menjadi sebuah kepuasan tersendiri dan membuat orang tua meyakini bahwa mereka telah menjalankan tugas pengasuhan dengan baik.
Tidak hanya di ranah personal, sharenting juga dapat membangun kesadaran dan solidaritas terhadap anak di tingkat komunitas. Menurut Bessant (2015), penggunaan media sosial tidak hanya untuk mencari dukungan atas keputusan pengasuhan yang sulit, tetapi juga mampu menarik perhatian audiens pada isu-isu kesehatan atau sosial yang berdampak pada anak-anak. Misalnya, komunitas orang tua dari anak-anak penyandang disabilitas atau penyakit langka sehingga para orang tua tersebut tidak merasa sendiri.
Baca juga: Bahaya Mengintai, Yuk, Awasi Penggunaan Media Sosial pada Pra Remaja dan Remaja, Bun!
Risiko di Balik Sharenting
Di balik kebahagiaan yang terlihat di media sosial, ada sejumlah risiko yang perlu dipertimbangkan orang tua. Mirisnya, International Journal of Pediatrics (2024) pernah menyebutkan bahwa 68% orang tua membagikan foto anak-anak mereka di media sosial tanpa mempertimbangkan potensi risikonya.
Apa saja potensi risiko sharenting?
1.Anak dapat tumbuh dengan standar atau identitas yang dibentuk oleh orang tua secara online.
2.Anak rentan menjadi “korban” eksploitasi oleh orang tuanya sendiri.
3.Informasi pribadi anak yang dibagikan secara berlebihan berdampak buruk pada citra diri dan keamanan anak.
4.Anak-anak yang menjadi konten orang tua mereka berpotensi menjadi subjek cyber bullying ketika tumbuh dewasa.
5.Sebuah lembaga di Inggris memperkirakan pada tahun 2030 sharenting menjadi penyebab terbesar dari pencurian identitas. Selain foto atau video, identitas pribadi juga meliputi nama lengkap, tempat-tanggal lahir, dan lokasi yang dengan mudah dapat diakses oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
6.Konten yang diunggah menjadi jejak digital abadi yang dapat berdampak pada masa depan anak-anak, termasuk pendidikan dan karier.
Wah, menyeramkan, ya, Ayah Bunda! Lalu, apakah kita tidak boleh membagikan konten si Kecil di media sosial?
Baca juga: 7 Foto Bayi yang Sebaiknya Jangan Post di Media Sosial
Berbagi di Media Sosial dengan Bijak
Sharenting bukanlah hal yang sepenuhnya baik atau buruk. Seperti kehidupan, kuncinya adalah keseimbangan, Bun. Dalam menghadapi fenomena sharenting, orang tua dihadapkan pada tantangan untuk menemukan keseimbangan antara berbagi kebahagiaan dengan melindungi privasi anak.
Berikut beberapa tips yang dapat menjadi pertimbangan orang tua sebelum berbagi konten tentang anak di media sosial:
-Menjaga privasi anak dengan tidak membagikan informasi yang bersifat pribadi atau sensitif
Informasi pribadi anak, seperti nama lengkap, tempat serta tanggal lahir, alamat tempat tinggal, riwayat medis, nama sekolah, nama kelas, lokasi les, dan rutinitas anak tidak perlu ditulis atau ditampakkan di konten. Selain itu, konten yang bersifat memalukan dan membahaya anak juga sebaiknya tidak dibagikan kepada publik, misalnya saat anak menangis, marah, atau foto tanpa pakaian.
-Membuat batasan yang jelas kepada siapa konten boleh dan tidak boleh dibagikan
Berdasarkan artikel What You Need to Know about Sharenting oleh UNICEF, orang tua perlu mempertimbangkan siapa followers di media sosial mereka dan seberapa dekat dengan orang-orang yang ada di lingkar pertemanan.
-Berpikir dua kali sebelum mengunggah konten anak dan mempertimbangkan dampak jangka panjangnya
Orang tua sebaiknya meminta persetujuan anak sebelum berbagi konten di media sosial. Konten-konten anak yang memalukan atau berbahaya dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional jangka panjang yang mengarah pada masalah identitas, kemandirian, dan kepercayaan.
Baca juga: Usia Berapa Anak Boleh Memiliki Akun Media Sosial?
Last but not least, sebagai benteng perlindungan, orang tua juga dapat mengajukan pertanyaan ini kepada diri sendiri sebelum berbagi konten anak (Kusumanjalee, 2023):
- Apa tujuan berbagi konten ini? Apakah untuk memberi kabar terbaru kepada keluarga/teman, atau hanya untuk menampilkan momen yang menggemaskan kepada publik?
- Jika ada orang lain yang berbagi konten serupa tentang anak kita, apakah kita dapat menerimanya?
- Apakah konten ini berpotensi mempermalukan atau membahayakan anak di masa depan?
- Apakah anak akan merasa nyaman dengan unggahan ini sebagai bagian dari jejak digitalnya saat anak dewasa?
Nah, Ayah Bunda, semoga lebih bijak ya saat berbagi konten tentang si Kecil di media sosial. Bukan berarti tidak berbagi konten sama sekali, melainkan lebih bijak dan memprioritaskan keamanan, kenyamanan, dan kepentingan si Kecil.
Sumber:
https://kidday.com/post/should-i-share-photos-of-my-child-on-social-media-pros-and-cons/
https://eprajournals.com/IJMR/article/11726/abstract
https://core.ac.uk/download/pdf/323028172.pdf
https://ijponline.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13052-024-01584-2
https://scholarlycommons.law.emory.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1094&context=elj
https://wehavekids.com/parenting/smart-sharenting-parenting-tips-to-keep-your-kids-safe
https://www.unicef.org/parenting/child-care/sharenting
https://www.themorning.lk/articles/Az8aJn9qHtIqqaPWqNMw