
Masih banyak orang yang berasumsi bahwa setelah menikah, suami dan istri bisa berhubungan seksual kapan pun tanpa perlu persetujuan. Padahal, setiap aktivitas seksual, termasuk dalam pernikahan harus tetap membutuhkan persetujuan dari kedua belah pihak.
Artinya, menikah bukan berarti otomatis suami atau istri bisa dituntut untuk berhubungan intim kapan saja. Jika salah satu pihak memaksakan kehendaknya saat yang lain tidak menginginkan, hal itu bukan sekadar ketidaksepahaman, melainkan merupakan bentuk kekerasan. Dalam hukum, dikenal sebagai marital rape.
Apa Itu Marital Rape?
Banyak yang mengira pemerkosaan hanya bisa terjadi di luar pernikahan. Faktanya, marital rape atau pemerkosaan dalam pernikahan itu nyata, menyakitkan, bahkan traumatik.
Baca juga: Rutin Mandi tapi Masih Bau Badan? Yuk Cek Penyebabnya!
Definisinya jelas, yaitu hubungan seksual yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu pihak, meskipun berada dalam ikatan pernikahan yang sah. Persetujuan harus tetap ada setiap kali ingin berhubungan, dan tidak bisa dianggap otomatis karena statusnya sebagai suami atau istri.
Paksaan ini tidak selalu berupa kekerasan fisik, tetapi juga tekanan psikologis, ancaman halus, atau bahkan manipulasi emosional yang bikin pasangan merasa wajib menuruti. Padahal, relasi yang sehat mestinya lahir dari kehendak bersama, bukan karena rasa takut atau terpaksa.
Pernikahan Bukan Alat Kuasa atas Tubuh Pasangan
Banyak ajaran moral dan spiritual yang juga mengajarkan bahwa hubungan suami istri harus dijalani dengan cinta, keikhlasan, dan saling menghargai, bukan dengan paksaan.
Sayang, dalam praktiknya budaya patriarki sering membungkus pemaksaan dengan dalih melayani suami adalah kewajiban istri. Seolah ikatan pernikahan memberikan akses tanpa batas ke tubuh pasangan. Padahal, prinsip kasih sayang dalam rumah tangga justru mengutamakan kerelaan, bukan penuntutan sepihak.
Dalam Surat Q.S Al-Baqarah (2:228) pun disebutkan, “dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut (ma’ruf), dan bagi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka”.
Jadi, hubungan suami istri seharusnya dilandasi dengan ridha dan keikhlasan, bukan paksaan. Artinya, pernikahan bukanlah izin mutlak untuk menguasai tubuh pasangan.
Pemerkosaan dalam Pernikahan Bisa Dipidana
Di Indonesia, pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga bukan cuma urusan pribadi, tetapi masuk kategori tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini diatur jelas dalam Pasal 8 huruf a UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Baca juga: Bagaimana Bereaksi Jika Darah Menstruasi Tembus ke Pakaian saat di Tempat Umum?
Korban marital rape kini memiliki akses yang lebih terbuka untuk melindungi diri melalui layanan pengaduan resmi. Proses pendampingan hukum dan psikologis pun semakin mudah diakses agar korban tidak merasa sendirian menghadapi tekanan sosial maupun keluarga.
UU PKDRT menegaskan bahwa kekerasan seksual dalam rumah tangga harus diproses secara hukum sebagaimana tindak pidana lainnya. Semua pihak, termasuk tetangga, keluarga, dan tenaga medis, turut berkewajiban melaporkan bila mengetahui adanya dugaan kasus kekerasan domestik.
Pasal tersebut menyebut bahwa kekerasan seksual, termasuk paksaan berhubungan intim tanpa persetujuan, adalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Di Dunia Internasional, Marital Rape juga Diakui Sebagai Kejahatan
Negara-negara seperti Kanada, Inggris, Australia, dan Jerman secara tegas sudah memasukkan marital rape dalam sistem hukum mereka. Bahkan, pelakunya bisa dijerat dengan hukuman pidana berat layaknya pemerkosa pada umumnya.
Marital rape juga dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Badan-badan dunia seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan WHO (World Health Organization) menyebut bahwa hak atas integritas tubuh dan persetujuan seksual adalah hak dasar setiap individu, terlepas dari status pernikahannya.
Harapan akan perubahan sosial juga didukung oleh pergeseran cara pandang terhadap relasi suami-istri dalam hukum internasional. Semakin banyak negara yang tidak lagi memperlakukan perkawinan sebagai alasan pembenar kekerasan di balik pintu rumah, melainkan menuntut pelindung bagi seluruh anggota keluarga, termasuk perempuan dan anak-anak.
Hal tersebut jadi sinyal kuat bahwa pernikahan bukan alasan untuk melanggar hak asasi manusia. Justru, relasi pernikahan harus jadi ruang aman, bukan sumber ketakutan atau tekanan.
Baca juga: Bukan Sekedar Bermain, Ini 8 Manfaat Pergi Liburan untuk Si Kecil
Bentuk Pemaksaan yang Tidak Terlihat
Pemaksaan dalam hubungan seksual tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik, seperti memukul atau memaksa secara kasar. Justru yang sering terjadi dan lebih sulit dikenali adalah bentuk-bentuk paksaan yang menyerang secara emosional dan psikologis.
Bentuknya bisa berupa:
• Ancaman ditinggal atau diceraikan jika pasangan menolak berhubungan.
• Tuduhan bahwa pasangan sudah tidak sayang atau tidak menurut sebagai istri atau suami yang baik.
• Silent treatment alias didiamkan berhari-hari karena menolak.
• Merasa diintimidasi secara halus, seperti menerima tatapan marah, nada suara meninggi, atau pernyataan manipulatif seperti, “Aku ini kan suami/istri kamu!”
• Rasa bersalah yang ditanamkan terus-menerus, sampai korban merasa wajib memenuhi kewajiban meski hatinya tidak rela.
Jadi, meskipun sudah menikah, bukan berarti pasangan bebas menuntut hubungan seksual kapan pun. Kalau ada paksaan, baik secara fisik maupun tekanan emosional, korban berhak melaporkan ke pihak berwenang. Marital rape bukan aib atau perkara rumah tangga biasa, melainkan soal hak perlindungan hukum dan penghargaan atas diri sendiri.
Sumber: Hukumonline.com, Jurnal Bidayah, Nu.or.id